Nasional
Presiden Jokowi Dilema Tangkap atau Biarkan Rizieq Shihab
Publik Indonesia kembali dihebohkan dengan pemimpin organisasi masyarakat FPI yang pergi dari Indonesia dan konon sedang berada di Arab Saudi. Di Tanah Air, dirinya menghadapi banyak tudingan hukum yang menunggu diselesaikan. Masyarakat terbelah, sebagian menuntut Rizieq untuk segera pulang dan menghadapi kasus hukumnya. Di sisi lain, para pendukung Rizieq menganggap pemimpin besarnya itu sedang dikriminalisasi dan mendukung kepergiannya dari Indonesia demi keselamatan dirinya.
Beberapa pertanyaan kemudian muncul, perlukah aparat negara menangkap dan menjemput paksa Rizieq? Haruskah Rizieq terus berlari dan meminta perlindungan ke PBB? Bagaimana warganet di Indonesia sebaiknya melihat peristiwa ini?
Pelajaran dari Pilkada 2017 bagi Jokowi
Dalam artikelnya, penulis buku Islam and Democracy in Indonesia (2016), Jeremy Menchik, mengungkapkan pertanyaan tentang kemungkinan kekalahan Jokowi pada pemilu 2019. Melihat konstelasi politik di Indonesia, maka kemungkinan besar peristiwa Pemilu Presiden 2014 dan Gubernur Jakarta 2017 akan kembali terulang pada Pemilu Presiden 2019. Apabila benar Presiden Jokowi akan maju lagi pada Pemilu 2019, maka tampaknya dia akan menghadapi lawan yang sama dengan yang dihadapinya pada 2014 dan musuh di tahun 2017 yang dihadapi oleh Basuki.
Jeremy juga menyinggung mengenai kekhawatirannya pada mundurnya demokrasi di Indonesia yang terjadi bersamaan dengan kemunduran demokrasi dan ketidakadilan di berbagai penjuru dunia. Dia mencontohkan bahwa fenomena tersebut terjadi pada Pemilu Presiden di AS dan juga Filipina.
Pada Pemilu di kedua negara tersebut, tokoh yang kontroversial justru memenangkan kontestasi. Setelah dirunut, akar persoalannya ternyata adalah kesenjangan yang terjadi di masing-masing negara. Isu kesejangan ini pula yang beberapa hari belakangan ini santer diberitakan karena disebutkan oleh Wakil Presiden kita.
Kendati gambaran dua tahun mendatang agak merisaukan, namun setidaknya Jokowi bukan Basuki. Menurut Jeremy, setidaknya ada tiga persoalan yang membedakan, yaitu Jokowi Muslim, dia tidak rentan pada model kampanye Anies, dan beliau berasal dari suku Jawa.
Tiga perbedaan itu tentu saja belum cukup bagi Jokowi untuk memenangkan Pemilu 2019. Sebab, menurut Indonesianis dari Murdoch University, Ian Wilson, kekalahan Basuki di Pemilu 2017 disebabkan oleh kampanye yang mengaduk emosi dan bukan program kerja atau pun hasil kinerja. Pendapat ini diamini oleh Marcus Mietzner dan Burhanudin Muhtadi, yang mengungkapkan bahwa banyak orang puas pada kinerja pemerintahan Basuki, namun tidak memilihnya karena berbagai alasan pada Pemilu 2017.
Menurut Ian, alasan kedua yang perlu diperhatikan oleh Jokowi sebelum maju di Pemilu 2019 adalah karena meningkatnya tingkat kesenjangan ekonomi warga. Hal ini pun tercermin dalam pilihan politik masyarakat. Sebagai contoh, kelas menengah menyenangi hasil kerja Basuki yang menjanjikan ketertiban, kebersihan, dan pemerintahan yang modern.
Namun, masyarakat miskin kurang senang karena mereka merasa terancam akan digusur atau ditertibkan. Ketidakpuasan pada perbaikan ekonomi dan sosial pada kelompok masyarakat miskin juga digambarkan dengan jelas oleh Marcus dan Burhanudin.
Melihat beberapa sebab kekalahan Basuki tersebut, maka pola yang sama bisa terjadi pada Jokowi di tahun 2019. Kendati saat ini kepuasaan masyarakat akan hasil kepemimpinannya sangat tinggi, namun kinerja bukan jaminan untuk memenangkan pemilu pada masyarakat yang mengedepankan sisi emosi dan juga mengalami kesenjangan seperti sekarang ini.
Dilema Meringkus Rizieq
Selain pelajaran dari Pemilu 2017, kini Jokowi juga dihadapkan pada dilema untuk menangkap atau membiarkan Rizieq. Pengejaran dan penangkapan pada Rizieq barangkali akan menyenangkan pihak-pihak yang menuntut keadilan ditegakkan seperti pada persidangan penistaan agama yang telah menjatuhkan hukuman kepada Basuki. Namun, bagi pihak seberang, penangkapan pada Rizieq menunjukkan bahwa rezim Jokowi mengkriminalisasi ulama dan umat Islam.
Menurut Marcus pada satu sesi diskusi di Australia National University, isu kriminalisasi ulama ini tidak menutup kemungkinan akan dimanfaatkan oleh pesaing Jokowi di tahun 2019. Kondisi makin rumit karena pemerintah baru saja membubarkan salah satu ormas Islam, yaitu HTI. Dua kondisi ini, penangkapan Rizieq dan pembubaran HTI, tampaknya bisa menjadi senjata ampuh bagi lawan-lawan Jokowi nanti di tahun 2019 dengan cara mengaduk emosi umat Islam melalui isu bahwa Jokowi tidak ramah pada ulama dan organisasi Islam.
Lalu, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah?
Masih dalam sesi diskusi yang sama, Marcus menyarankan agar pemerintah memanfaatkan upaya hukum dan prosedur peradilan yang terbuka baik bagi kasus Rizieq dan HTI. Kelemahan proses ini memang membutuhkan waktu yang lama, namun proses hukum dan peradilan terbuka menjamin transparansi proses dan keterbukaan informasi bagi masyarakat luas. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa Jokowi taat pada prosedur dan menindak pelanggar hukum melalui proses-proses hukum.
Sesuai dengan gelar yang baru saja diterima Rizieq dari para ulama Arab, yaitu Singa Allah dan Singa Rasul, maka barangkali Rizieq bisa mencontoh perilaku singa. Menurut pakar kepemimpinan Simon Sinek, alpha atau pemimpin pada sekawanan singa memiliki keistimewaan, yaitu berhak mendapatkan porsi daging yang pertama dan memilih pasangan yang disukainya.
Namun, keistimewaan tersebut harus dibayar manakala ada ancaman pada kawanan singa tersebut, maka seorang pemimpin harus tampil ke muka dan tidak lari menyembunyikan diri. Dialah yang pertama menghadapi ancaman dan niscaya para pengikutnya pun akan mendukungnya.
Berdasarkan pelajaran dari singa tersebut, maka alangkah baiknya bila Rizieq pulang dan menghadapi proses hukum. Semua itu perlu dilakukan untuk menunjukkan bahwa dia adalah pemimpin yang bertanggung jawab dan memerhatikan pengikutnya. Perkara salah atau benar, pengadilan yang terbuka dan adil nantinya yang akan membuktikan. Namun, dengan kepulangannya, maka akan menunjukkan pada dunia bahwa dialah Singa Allah dan Singa Rasul yang sesungguhnya.
Sekali lagi kita bisa mengambil pelajaran dari kekalahan Basuki pada Pemilu Gubernur 2017. Ross Tapsell dalam artikelnya menggarisbawahi beberapa hal yang menyebabkan Basuki kalah, terutama dalam sisi komunikasi melalui media sosial dan media lainnya.
Menurutnya, pada Pemilu 2017 peran relawan seperti artis dan penyanyi juga masyarakat luas menurun dibandingkan kiprah massif mereka pada Pemilu Gubernur 2012 dan Presiden 2014. Penurunan ini terutama disebabkan ketika Basuki maju sebagai wakil partai dan dengan demikian tidak independen lagi. Selain itu, tidak ada komunikasi yang intensif antara relawan ‘Teman Ahok’ dengan PDIP sebagai partai pengusung Basuki.
Akibatnya, strategi kampanye yang ada pun lebih bersifat ‘top down’, keputusan dari pemimpin di atas daripada ‘bottom up’, usulan dari para relawan. Sebagai contoh adalah kegagalan video Bhinneka Tunggal Ika yang justru menimbulkan kesan sebagai video jahat dan mengaduk emosi sebagian warga. Akhirnya, banyak warga yang justru khawatir untuk memberikan dukungan secara terbuka kepada Basuki termasuk memilihnya pada Pemilu yang lalu.
Dari uraian di atas kita bisa melihat peran yang sangat besar baik itu oleh relawan dan media sosial serta materi kampanye melalui video atau meme. Di sisi lain, kepergian Rizieq memang menjengkelkan bagi banyak pihak yang menginginkan keadilan ditegakkan seperti pada kasus penistaan agama yang telah menjatuhkan hukuman pada Basuki. Tidak heran bila kejengkelan itu terungkap di media sosial melalui status yang mengejek, menghardik, dan menggoda Rizieq agar segera pulang serta berbagai meme yang menyudutkannya.
Barangkali memang melegakan dan bisa dimengerti manakala banyak warganet yang mengungkapkan berbagai kekesalan itu di media sosial. Namun, bisa jadi berbagai ungkapan itulah yang menyebabkan Rizieq makin enggan pulang dan berniat mengadukan kasusnya ke Komnas HAM dan PBB, dua organisasi yang semula dikutuknya. Selain itu, siapa tahu dia memang sedang menabuh gendang dan warganet yang membencinya tidak sadar menari dalam irama gendang itu.
Barangkali warga net yang mengharapkan Rizieq pulang perlu bersabar untuk mengikuti berbagai proses hukum yang sedang dijalankan oleh aparat untuk membawa Rizieq pulang. Memantaunya dan mengingatkan pemerintah bila proses itu tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Proses ini bisa dilakukan oleh kedua kubu baik yang mendukung Rizieq atau pun yang membencinya. Barangkali juga kepergian Rizieq ini menjadi masa damai bagi kedua kubu yang kehilangan pemimpinnya masing-masing karena satu sedang ditahan dan satu sedang bepergian. Siapa tahu, dalam masa damai ini bisa dicapai sinergi di antara kedua kelompok yang selama ini berseberangan untuk kemajuan dan persatuan Indonesia.
Oleh Sridewanto Pinuji*Siswa pada Sekolah Kebijakan Publik Crawford Australian National University