Nasional
Perjalanan Ahok di DKI adalah perjalanan sejarah yang diawali Jokowi
Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengapresiasi dan menyampaikan rasa bahagia ketika kaum Nahdliyin dan Marhaen bersatu sebagaimana diikrarkan dalam kegiatan Ngaji Kebangsaan di Pondok Pesantren Abdurrahman Wahid Sokotunggal, asuhan KH Nuril Arifin, di Jakarta Timur. Hasto mengatakan, dalam sejarah berdirinya bangsa ini Bung Karno pun telah menegaskan bahwa bangsa Indonesia ini harus berdiri tegak di antara bangsa-bangsa di dunia.
Namun, saat ini dalam menghadapi Pilkada, khususnya di DKI Jakarta seperti ada yang berupaya menegaskan kebhinekaan tersebut. “Kita berkumpul di sini untuk mengingatkan kembali bahwa Republik Indonesia saat ini kembali menghadapi ancaman perpecahan dan perlawanan terhadap kebhinekaan. Padahal sudah dipertegas konsepsi kebhinekaan kita berbeda-beda tapi satu bangsa dan satu tanah air dengan bahasa persatuan Indonesia,” kata Hasto, Jumat (17/3).
Selain Hasto, hadir dalam acara itu diantaranya Ketua DPP PDI Perjuangan Idham Samawi, Ketua Umum PPP Djan Faridz, putri Bung Karno Sukmawati Soekarnoputri, pemikir kebangsaan Yudi Latif, serta perwakilan dari Ciganjur, Priyo Sambadha. Hadir juga beberapa tokoh dari lintas agama. Acara ngaji kebangsaan dipandu oleh budayawan yang juga mantan asisten Gus Dur, Ngatawi Al-Zastrow.
Hasto mengatakan, kehadiran Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok) dalam kepemimpinan di DKI Jakarta adalah perjalanan sejarah. Diawali dari kekuatan Joko Widodo (Jokowi) yang datang dari arus bawah yang peduli pada rakyat. Kemudian didukung rakyat menjadi Presiden.
Hasto menambahkan, Ahok kemudian menjadi gubernur menggantikan Pak Jokowi yang menjadi Presiden. Memang tidak sempurna, kata Hasto, tetapi punya komitmen sangat jelas seperti Ali Sadikin yang tegas dan tak kompromi padakorupsi meskipun itu anggota DPRD.
“Pak Ahok pernah mau diganti oleh DPRD karena Pak Ahok tak menyetujui pengajuan anggaran besar. Ini menjadi bukti ketika Pak Ahok memilih tak populer, tetapi murni untuk kemajuan rakyat. Itu sikap seorang pemimpin,” ungkap Hasto.
“Anggaran dipakai untuk membersihkan sungai di Jakarta,” tambahnya.
Hasto mengatakan, Ahok menjadi Gubernur DKI membentuk pasukan oranye untuk bersih-bersih, pasukan hijau untuk membangun taman kota, dan pasukan biru untuk mata air, serta pasukan ungu untuk sosial merawat lansia.
“Hanya satu warna yang belum, yakni pasukan merah. Melihat Gus Nuril memakai baju merah, maka segera dibangun pasukan merah yang akan membangun masjid, membersihkan masjid untuk berwudhu dan beribadah,” kata Hasto.
Kemudian, lanjut Hasto, Ahok dalam kepemimpinannya bersatu dengan Djarot Saiful Hidayat yang tak suka menyombongkan diri. Hasto menceritakan, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Sirodj mengatakan bahwa Djarot sangat menghormati Bung Karno dan menjaga persaudaraan dengan Nahdliyin.
“Beliau sangat kekeluargaan dan menjaga persaudaraan. Jadi yang satu tegas dan satu merangkul. Maka kami mohon doa restu. Pilkada DKI ini perjuangan yang tak mudah, tapi butuh keyakinan bersama untuk Jakarta yang lebih baik, lebih manusiawi dan berkebudayaan serta saling menghormati,” harap Hasto.
Sementara Sukmawati Soekarnoputri menegaskan bahwa Marhaen dan Nahdliyin adalah kekuatan bangsa Indonesia. “Bung Karno sangat memegang hal ini, sehingga menjadi satu-satunya pemimpin beragama Islam yang tiga kali mendapat penghargaan bintang kehormatan dari tiga Paus. Ini tidak lain karena Bung Karno menjalankan kepemimpinan bangsa dengan bijak dan berbudi luhur,” kata Sukmawati.
“Sekarang ada yang katanya ulama, tetapi kok menistakan Pancasila dan Bapak Proklamator. Hati saya kaget, marah terharu bercampur aduk. Sampai saya tak bisa biarkan. Padahal yang saya tahu selama ini ulama baik seperti Gus Dur. Semua agama mengajarkan kebaikan,” ujarnya.
Sukmawati menambahkan, ketika Sekutu mau menggempur Surabaya, rakyat marhaen yang ada dari kalangan Nahdliyin memblokir kota agar tank-tank sekutu tak masuk ke wilayah Surabaya. Caranya semua perabotan rumah warga ditaruh di jalan raya.
“Sampai begitu masyarakat Nahdliyin dan Marhaen bersatu ketika perjuangan kemerdekaan. Dan sekarang ini dirajut kembali,” tegas Sukmawati.