Nasional
Ketua FPI Habib Rizieq Dihabisi Untuk Cegah Revolusi?
Seminggu terakhir menjadi puncak serangan kepada Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Muhammad Rizieq Syihab, atau biasa dipanggil Habib Rizieq.
Dia dihadapkan pada sejumlah kasus: terutama dugaan penistaan Pancasila, benturan dengan GMBI (Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia) yang salah satu pembinanya adalah Kapolda Jabar, sengketa dengan PDIP, dan pemblokiran sejumlah akun yang berafiliasi dengannya. Di media sosial, dia dan FPI juga menjadi bulan-bulanan netizen, terutama setelah FPI bentrok dengan GMBI dan dia mengadu ke DPR.
Habib Rizieq, yang saat demo kolosal menuntut dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dielu-elukan, namanya kini sedikit banyak kelihatan sengaja digerus lewat sejumlah kasus tersebut.
Dari sisi politik, popularitas Habib Rizieq sangat berbahaya. Bukankah Ahok dan Jokowi lahir dari popularitas?
Terutama bagi rezim yang ingin mempertahankan kekuasaan, fenomena ngetopnya Habib Rizieq adalah ancaman serius. Kedua, naiknya ketenaran Rizieq menjadi momentum bersatunya kekuatan Islam. Hampir semua ormas Islam memberikan restu untuk Rizieq, minimal mendiamkan, kecuali NU struktural—di akar rumput, basis massa organisasi ini tak sedikit yang siap di barisannya.
Pengangkatan Rizieq sebagai imam besar umat Islam secara politik tidak bisa dianggap remeh. Seruan revolusi yang beberapa kali didengungkan Rizieq bisa setiap saat disambut dan digerakkan untuk menggoyang rezim, jika tidak lewat aksi massa, balasannya bisa lewat Pemilu 2019, bukan waktu yang lama untuk proses politik.
Oleh sebab itu, Rizieq perlu dihabisi. Caranya?
Pertama Rizieq dibenturkan dengan Pancasila. Sebagai ideologi negara, Pancasila haram disentuh dan diotak-atik, dan pelakunya akan berhadapan dengan segenap kekuatan negara, terutama TNI dan polisi. Cara seperti ini pernah dilakukan terhadap PKI di Era Soeharto, yang membuat apa pun yang berbau partai komunis itu akan dibuat tak berkutik karena dijadikan musuh bersama.
Kedua, Rizieq dan gerakannya dikonotasikan dengan radikalisme yang antikebhinnekaan. Kemajemukan Indonesia adalah keniscayaan yang sudah berterima berabad-abad. Mitologisasi gerakan Rizieq sebagai kelompok radikal dan membahayakan keragaman juga sangat efektif untuk mendelegitimasi gerakan tersebut sebagai wakil umat Islam secara umum, yang dikenal toleran dan moderat. Cara kedua ini pernah berhasil, dan yang menjadi korban adalah Masyumi—dianggap tidak nasionalis.
Membendung gerakan rizieq ini misalnya dibenturkan dengan GMBI, yang direpresentasikan sebagai ormas nasionalis berbasis kultural. Satu-satunya ormas Islam yang bisa dikendalikan untuk membendung Rizieq adalah NU, mirip situasi pada tahun 1960an ketika pemerintah Soekarno menggandeng organisasi tersebut, yang saat itu sekaligus partai politik.
Cara selanjutnya adalah membungkam massifnya pasukan Rizieq lewat isu hoax, yang dikatakan dosen filsafat UI Rocky Gerung sebagai bentuk kepanikan pemerintah sebagai pembuat hoax lebih besar. Jokowi adalah produk dari suksesnya kampanye lewat media sosial, terutama saat merebut kursi DKI 1 pada 2012, dan lalu presiden. Tentu, Habib Rizieq juga mempunyai peluang yang sama—rezim pasti sadar betul tentang hal ini.
Cara terakhir yang bisa dilakukan pemerintah adalah memenjarakannya. Peluang ini ada lewat perkara penistaan Pancasila. Sidang yang berulang-ulang akan memakan energi dan menimbulkan stigma buruk, yang sudah terbukti dengan bentrok massa FPI vs GMBI. Belum lagi jika Rizieq dinyatakan bersalah dan dibui, ini akan mengendurkan popularitasnya karena bakal sepi dari berita.
Jadi, jika masih ingin mempertahankan momentum popularitas Rizieq, sebaiknya pendukung lebih mengedepankan kesabaran menghadapi serangan-serangan: tunggu, lihat dan serang, seperti strategi kampanye Jokowi saat Pilpres. Sebaliknya, bagi lawan, massa Rizieq yang meledak-ledak justru akan dijadikan titik lemah untuk diserang.