Nasional

Gambar Mantan Presiden Soeharto Makin Marak, Apa tujuannya?

Posted on

Beberapa kendaraan acap kali terlihat menampilkan wajah Presiden RI ke-2, yakni Soeharto dengan beberapa baris kalimat bahasa Jawa. Apa sebenarnya pesan di balik tulisan-tulisan itu? Berikut laporannya.

“PIYE Kabare? Iseh Penah Jamanku To?”. Ada juga tulisan “Enak Jamanku Biyen Brow?”. Atau ada lagi menulis “Piye Kabare, Masih Uenak Jamanku To?”

Tulisan-tulisan ini kerap menghentak pengendara yang melihat tulisan. Biasanya terpampang di bodi belakang dari kendaraan yang ada di depan. Makna dari kalimat-kalimat pendek itu sama. Menyindir pemerintah saat ini dan membandingkannya dengan era Orde Baru.

Dari bentuk lukisan air dalam ukuran besar yang terpampang di belakang truk. Sampai, stiker besar yang tertempel di kaca-kaca jendela kendaraan mobil dengan bodi lebar. Tulisan ini terang saja menggelitik.

Di cat air atau stiker besar, wajah presiden kedua RI itu, seakan menggelitik generasi yang masih hidup saat ini. Lalu meminta membandingkan keadaannya, saat sosok itu masih memimpin.

“Bagaimana kabarnya? Masih enak masa kepemimpinanku kan?” begitulah arti dari tulisan itu kurang lebih.

Tulisan ini seakan menantang setiap orang yang pernah merasakan kepemimpinan Presiden Soeharto. Membandingkan kehidupan yang mereka alami, pada masa dipimpin Soeharto dan sesudah ia lengser. Karya ini pun mendapat ragam tanggapan dari warga Kota Mataram sendiri yang pernah merasakan kebijakan pemerintahan Soeharto.

“Dulu aman, tidak ada yang berani petantang-petenteng jadi preman. Satu saja anggota TNI sudah cukup menenangkan warga sekampung yang ribut,” ujar Budayawan NTB Lalu Muksin.

Kondisi ini sangat kontras jika dibandingkan dengan saat ini. Menurutnya, bukan karena TNI sudah tidak punya taring lagi. Tetapi lebih pada budaya masyarakat yang sudah sangat tak terkendali. Sehingga melampaui batas-batas etika bernegara yang seharusnya dijunjung tinggi.

“Tidak hanya keamanan, dari segi ekonomi juga begitu, dulu sekepal nasi bisa membuat orang bersyukur dengan nikmat Tuhan. Tetapi sekarang sekepal nasi bisa membuat orang durhaka mengucapkan sumpah serapah karena tidak ada lauk pauk,” kritiknya.

Tokoh senior lainnya, HM Nur Ibrahim juga tertarik ikut membandingkan. Pria sepuh yang kini di juga menjabat sebagai Sekretaris Komisi II DPRD Kota Mataram itu, lebih memilih untuk meyakini sebenarnya pembangunan negara bergerak ke arah lebih baik.

“Ya mungkin ada yang protes, BBM naik, listrik naik, apa-apa naik, tapi coba bandingkan berapa orang yang tidak bisa makan sekarang dengan dulu,” kata Nur.

Dari segi ekonomi, pada dasarnya Nur setuju, bangsa bergerak ke arah lebih baik. Dimana, pemerataan sandang dan pangan terus diupayakan pemerintah. Begitu juga terkait pembangunan infratruktur yang berupaya digencarkan pemerintah. Semua menunjukan progres dengan grafik meningkat.

“Dan ini harus kita akui, jika dibandingkan pada masa Orde Baru, saat ini infrastrukur sudah jauh lebih baik,” jelasnya.

Begitu juga dari daya beli masyarakat. Walau diklaim semua logistik naik, realitanya masyarakat masih bisa membeli berbagai kebutuhannya. Tetapi pada masa Orde Baru, harga bahan pokok jika dibandingkan dari angka nominal, terlihat sangat murah. “Tetapi saat itu, tidak semua orang punya uang, walau murah,” ujarnya sembari tersenyum.

Belum lagi persoalan lobying ke tingkat pusat. Di katakan Nur, pada masa Soeharto, hanya beberapa pejabat tertentu saja yang punya akses khusus untuk bisa menghadap ke pejabat-pejabat teras di pusat. Tidak semua, sehingga apa yang menjadi aspirasi dan suara dari bawah, acap kali tidak maksimal sampai ke pusat.

“Media juga seperti itu kan? Dulu tidak bisa sebebas saat ini, tetapi sekarang tentu jauh lebih baik. Bisa ikut serta mengawal pembanguan,” terangnya.

Tetapi sebuah rezim selain ada sisi negatif, bukan berarti tidak ada sisi positifnya. Nur ingat betul, bagaimana stabilitas dan keamanan negara yang berhasil dibangun presiden Soeharto saat itu. Dampaknya hingga ke daerah-daerah, termasuk ke Kota Mataram.

Belum lagi keberpihakan pemerintah dalam bentuk subsidi listrik dan BBM, sehingga mampu dinikmati masyarakat. Itu secara langsung, nyata dirasakan masyarakat, walau belum bisa merata dinikmati semua lapisan. Karena kronisnya persoalan nepotisme kala itu. “Jadi saya rasa (stiker atau cat air Presiden Soeharto) itu hanya euforia saja,” tegasnya.

Tidak sama sekali mencerminkan perbedaan signifikan keberhasilan sebuah rezim. Menurutnya, era sebelum dan sesudah reformasi sebenarnya masing-masing punya keunggulan dan kelemahan. Tergantung bagaimana masyarakat menyikapi persoalan yang terjadi.

“Yang jelas kita harus optimis melihat masa depan, dulu orang naik haji susah, sekarang yang mau pergi malah antre. Apa ini tidak lebih baik?” gelitiknya sembari tersenyum.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Mataram (Unram) DR Firmansyah, melihat persoalan stiker rindu rezim Soeharto ini dari sudut yang berbeda. Menurutnya, walau saat ini pembangunan infrastruktur sudah sangat pesat, tetapi masyarakat banyak yang tidak siap dan kagetan dengan dampaknya.

“Dulu pemegang simpul-simpul ekonomi masih sedikit, tetapi saat ini semakin banyak,” jelasnya.

Awalnya, masyarakat yang survive dan ingin hidup lebih baik, melihat pesatnya pembangunan sebagai peluang untuk memperbaiki kualitas hidup. Bekerja keras mengumpulkan pundi-pundi harta untuk meningkatkan derajat ekonominya.

“Tetapi rupanya semangat ini, telah melahirkan persaingan yang sangat sengit dan ketat antar setiap orang,” ujarnya.

Banyak orang akhirnya nyaris tidak punya waktu luang, bersantai seperti dulu dan membangun hubungan sosial. Semua sibuk mengejar materi sehingga melahirkan kompetisi yang sangat sengit dan melelahkan. Fasilitas-fasilitas ekonomi yang dibangun negara dijejali untuk meraup keuntungan pribadi.

“Memang materi berhasil dikumpulkan, tetapi ini diikuti juga dengan pergerakan harga barang dan jasa yang meningkat, karena adanya persaingan yang sangat kompleks di segala sektor,” terangnya.

Persoalan ini jadi lebih terlihat pelik saat ini, dengan keputusan pemerintah mencabut subsidi listrik dan BBM. Masyarakat seakan didorong berkompetisi lebih sengit, bekerja lebih keras dengan waktu istirahat yang sedikit. “Tetapi dengan tingkat kepuasan yang nyaris sama dengan masa Orde Baru,” jelasnya.

Pengamat ekonomi lainnya Sarifudin, mengatakan dari segi kuantitas pemenuhan logistik saat ini sudah lebih baik. Tetapi, bukan berarti tingkat pemenuhan kebutuhan masyarakat sudah lebih baik. Pemerintah tidak bisa menutup mata, masih ada rakyatnya yang belum bisa menjangkau pemenuhan kebutuhan dasar.

“Saya juga lihat, pola investasi yang disebut kerap menggerus kemisikian, masih hanya menguntungkan beberapa orang saja, tidak benar-benar memberi efek luas bagi kesejahteraan masyarakat seperti yang kerap disampaikan,” cetus dosen Fakultas Ekonomi Unram itu.

Realitanya, masih ada masyarakat yang hidup di kolong jembatan. Ia juga mengingatkan pemerintah, masih banyak warga yang susah payah berjuang untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Baginya ini fakta yang tidak bisa dinafikan.

“Pola perbaikan ekonomi memang harus dicari lagi formulanya, agar bisa memberi jaminan kesejahteraan bagi masyarakat,” tandasnya.

Terbanyak Dibaca

Exit mobile version