Nasional

Apa Tujuan Aksi Serangan Brutal ke Penyidik KPK?

Posted on

Jagad publik Indonesia terperangah lantaran dikejutkan ulah brutalitas. Serangan brutal tak senonoh. Dipertunjukan begitu kasat mata dan menyodok kesadaran publik. Penyerang yang sangat terlatih itu, secara sengaja, tanpa tedeng aling-aling menyerang Novel Baswedan (NB), salah satu penyidik senior KPK, di sekitaran rumahnya. Serangan brutal itu diarahkan pada wilayah yang sangat riskan: di bagian wajah, khususnya mata, dengan menggunakan air keras.

Jika tidak dapat ditolong, dipastikan, NB akan mengalami kebutaan “total”. Tujuannya sangat jelas. NB hendak dilumpuhkan salah satu indranya agar nyalinya menjadi “ciut”, “keder”, tak lagi trengginas dalam menyidik kasus-kasus korupsi. Jadi, jika kini berkembang suatu analisis lainnya yang sangat naif dan “mengerdilkan” akal sehat, dengan menyatakan, misalnya, penyebabnya, “jualan Jilbab online dari istrinya” maka hal itu harus ditolak.

Serangan itu harus dibaca sebagai tindakan teror karena dampak yang dihasilkannya adalah untuk menciptakan atmosphere of fear bagi penyidik otentik KPK, seperti NB. Bahkan, pesan ancaman itu juga hendak disampaikan kepada seluruh fungsional KPK, termasuk seluruh aktivis antikorupsi dan upaya pemberantasan korupsi. NB segaja dipilih penyerang karena dia salah satu “simbol” perlawanan korupsi yang paling konsisten dan amanah. Penyidik yang tidak biasa. Bahkan sangat luar biasa, lugas, tanpa kompromi dan bertindak tegak lurus dalam melakukan setiap penyidikan kasus giant corruption yang ditangani KPK.

Penyerang sedang mengirim sinyal: siapapun bisa disentuh, ditaklukan, dan diluluh-lantakan. Tak terkecuali seorang NB. Itu sebabnya, mereka, para pelaku penyerangan, harus dikualifikasi sebagai the real terrorist yang secara sengaja menebar amuk, menciptakan ketakutan, dan menghina-dinakan kedaulatan sebagian penegakan hukum yang mulai kerap disinyalir, hanya mampu mengkriminalasi pihak yang berpikiran kritis dan berbeda dengan kekuasaan serta pihak yang menuntut keadilan.

Mereka lupa, tekad yang membara dan iktikad yang tak lagi mengenal batas dari para penyidik otentik KPK serta para fungsional lainnya, telah bertransformasi menjadi kekuatan maha dahsyat, tidak akan “luruh” dan tak akan mungkin ditundukkan oleh kekerasan apapun. Para teroris itu akan “kecewa berat” karena brutalitas yang dilakukannya justru akan semakin memantapkan soliditas korps otentik KPK. Korps pemberantas rausah makin meyakini true track yang dilakoninya dan kian membulatkan tekad, korupsi dan jaringannya memang harus diberantas, ditaklukan, dan dilumpuhkan, berapapun “ongkos” yang harus dibayar.

Sudah 3 (tiga) hari pasa-penyerangan, labirin media sosial tetap dikepung dan dibanjiri berbagai gambar NB yang kini tengah dalam perawatan. Bukan itu saja, ungkapan keprihatinan ditebarkan banyak kalangan dan koalisi masyarakat. Begitu juga dukungan agar tetap terus dikuatkan sekaligus caci dan makian bagi para pelaku yang mulai disebut sebagai “bedebah” tindakan terrorising. Banyak aliansi dibentuk oleh sebagian masyarakat untuk sekedar bersimpati hingga agak serius untuk membuat investigasi guna membuat terang motif brutalitas yang terjadi.

Ada 3 (tiga) hal penting guna mengantisipasi agar kasus NB tidak terulang kembali. Kesatu, para penyidik dan fungsional KPK harus terus menerus melatih kepekaannya atas potensi intimidasi yang potensial terjadi atas dirinya. Tentu saja, mereka juga menyiapkan dirinya agar memiliki kompetensi sehingga mempunyai kesiapan dan kemampuan menghadapi sitasi buruk yang menyergap dirinya.

Kedua, pimpinan KPK harus merumuskan standar pengamanan maksimal bagi para penyidik otentik KPK dan fungsional lainnya yang karena fungsi dan jabatannya selalu diintai oleh “gang and network” para koruptor yang sakit hari dan nurani. Ketiga, masyarakat harus terlibat aktif dalam sistem pengamanan ini. Ada fakta umum, para penyidik dan fungsional KPK hidup dan berada di lingkungan masyarakat. Bila ada hal dan pihak mencurigakan yang berkaitan dengan penyidik dan fungsional KPK maka masyarakat harus melakukan langkah taktis agar tidak terjadi lagi tindakan terrorising di atas.

Yang paling menarik atas kejadian brutalitas atas NB, mengungkap apa motif pelaku dan menemukan pelaku tindakan terrorising. Di satu sisi, sulit untuk mengingkari, para pelaku korupsi yang kini tengah disidik NB memiliki “dendam kesumat” pasca-penetapan sebagai tersangka atau karena dikenakan upaya paksa lainnya.

Ada 3 (tiga) peristiwa yang tengah terjadi sebelum tindakan terrorising atas BN. Pertama, KPK barus saja menetapkan “cekal” atas Setya Novanto yang diduga terlibat di dalam kasus e-KTP. Kedua, KPK barus saja menetapkan Miryam (anggota DPR dari Fraksi Hanura) sebagai tersangka karena diduga “mengumbar” kebohongan di depan persidangan kasus e-KTP yang bertentangan dengan keterangannya sendiri dihadapan penyidik. Ketiga, KPK sudah menyatakan akan ada tersangka baru di dalam kasus e-KTP dan kini tengah intensif memeriksa Andi Narogong.

Para jaringan “jaringan koruptor” yang “sesembahannya” berkaitan dengan ketiga peristiwa di atas, maupun para “punggawanya”, punya potensi melakukan tindakan, langsung atau tidak langsung, pada siapapun yang dianggap sebagai lawan kepentingannya. Indikasinya belum terlihat jelas, namun dapat saja berasal dari sayap organisasi massa dari ketiga peristiwa di atas atau para “pemain bayaran” yang memang terbiasa di order dan sangat profesional dalam melakukan tindakan melawan hukum hingga brutalitas. Pelaku itu, bahkan, sudah menyiapkan, motif alibi bila kelak “dicokok” KPK.

Ada kemungkinan lain yang bertemu dengan dengan ketiga peristiwa di atas. Perbedaan pendapat yang sangat tajam di dalam KPK yang tidak segera diselesaikan Pimpinan KPK, khususnya di dalam rekrutmen penyidik otentik KPK, potensial melahirkan sinyalemen dan berbagai tudingan lainnya atas kejadian naas yang menimpa NB. Tidak ada pilihan lain, segera selesaikan persoalan rekruitmen penyidik otentik KPK dan pilihannya harus ditujukan pada kepentingan kemaslahatan upaya pemberantasan korupsi yang sebenar-benarnya yang meniadakan potensi duo-loyalitas atas ketaklikannya hanya pada KPK.

Ada soal yang juga sangat penting sekali, apakah ada kebijakan konkret yang bisa segera ditetapkan untuk memastikan jaminan paling optimal atas seluruh penyidik dan fungsional KPK yang tengah “berkelahi” melawan koruptor. Bagitupun juga, adanya pemberian fasilitas premium atas segala resiko yang muncul bagi mereka. Tentu saja, hal serupa juga harus diberikan kepada komisioner KPK, tidak hanya sekedar menyandarkan pada “nyali” para komisioner.

Para komisioner KPK seolah diperlakukan secara diskriminatif oleh negara dan sistem kekuasaan sehingga punya kedudukan hukum yang sangat “risky” karena bisa “dipecundangi” penegak hukum lainnya. Coba lihat saja di dalam Pasal 10 UU Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman RI yang memberikan jamninan pada Komisioner Ombudsman dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.

Seyogianya, para Komissioner KPK tidak diperlakukan secara diskriminatif dihadapan hukum dan perundangan karena pekerjaanya yang mereka lakukan jauh berlipat-lipat lebih berbahaya dari komisioner Ombudsman sehingga perlu juga diberikan jaminan untuk tidak ditangkap, diinterograsi, dituntut atau digugat di hadapan pengadilan.

Akhirnya, publik meyakini, brutalitas pada penyidik dan fungsional KPK yang telah terjadi berulangkali, tidak akan pernah dapat “mematikan” tekad dan itikad yang kuat untuk memberantas korupsi. Kami meyakini, ujian luar biasa pada NB dan para fungsional KPK hanya diberikan pada pihak-pihak yang luar biasa karena Ilahi tahu mereka sangat kuat untuk menanggung resio itu dan kini mereka tengah dan akan dimuliakan karena keluarbiasannya itu.
Aku, kamu, engkau dan kita adalah NB, NB adalah KPK, KPK adalah Indonesia. Aku, kamu, engkau dan kita adalah NB yang juga KPK untukmu dan bagimu, Indonesiaku.

DR. Bambang Widjojanto
Senior Partner di WSA Lawfirm dan Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Terbanyak Dibaca

Exit mobile version