Nasional
Ahok Jabat Gubernur DKI Lagi, Jokowi Akan Dimakzulkan?
Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa dimakzulkan (impeachment) jika Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok aktif lagi menjadi gubernur DKI Jakarta, setelah menyelesaikan masa cuti kampanye sebagai petahana pada pilkada DKI Jakarta. Dengan demikian, Ahok yang menjadi terdakwa penista agama bisa menjabat lagi sebagai gubernur DKI Jakarta.
“Ya Jokowi bisa diimpeach. Semua fakta pelanggaran hukum oleh penguasa harus dikumpulkan kemudian disampaikan hak menyatakan pendapat oleh DPR,” kata peneliti Senior Institute For Strategic and Development Studies (ISDS), M. Aminudin.
Aminudin menegaskan, Jokowi bisa dimakzulkan jika memang Ahok aktif lagi menjadi gubernur DKI Jakarta. Karena jika Ahok menjabat menjadi DKI 1 lagi maka jelas penguasa telah melakukan perbuatan melawan hukum atau inskonstusional (Onrechtmatige Overheidsdaad). Sehingga terkesan memberikan keistimewaan terhadap Ahok.
Padahal Pasal 83 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) dengan jelas menyatakan, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Dalam pasal itu juga disebutkan, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan,” papar Aminudin.
Kegaduhan
Terpisah pengamat hukum dari Universitas Al Azhar Jakarta, Prof Suparji Ahmad mengatakan, harusnya Ahok yang menjadi terdakwa penista agama tidak lagi menjabat sebagai gubernur DKI. Jika hal tersebut dipaksakan maka akan dapat berpotensi menimbulkan kegaduhan baru yang dipicu tidak dilaksanakannya ketentuan Pasal 83 UU Pemda secara otentik.
“Seorang kepala daerah yang menjadi terdakwa berdasarkan UU Pilkada yang ancaman hukumnya minimal 5 tahun juga harus diberhentikan sementara. Ketentuan ini bersifat imperatif yang harus dilaksanakan,” tegas Suparji.
Suparji menuturkan, syarat pemberhentian sementara terhadap Ahok sudah terpenuhi yaitu menjadi terdakwa dan diancam 5 tahun penjara. Syarat lainnya juga ada register perkara pengadilan yang dikirimkan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). “Apakah register perkara pengadilan belum dikirim ke Mendagri, ini yang perlu ditindaklanjuti sehingga tercipta kepastiab hukum,” paparnya.
Lebih lanjut Suparji mengatakan, ketentuan UU secara eksplisit menyatakan Ahok harus diberhentikan sementara. Oleh karena itu tidak ada ketentuan bahwa memberhentikan Ahok harus menunggu tuntutan apalagi vonis. Karena saat ini ada argumen Ahok belum diberhentikan sementara karena menunggu tuntuntan dari jaksa yaitu apakah menuntut 5 tahun atau di bawahnya.
Berdasarkan pasal 83 UU.No.23/2014 jo uu No.9/2015 tentang Pemda menyatakan kepala daerah/wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana yg diancam 5 tahun penjara. ayat (2) menyebutkan kepala daerah dimaksud diberhentikan sementara berdasarkan register di pengadilan.
“Ketentuan tersebut tidak menyatakan berdasarkan tuntutan jaksa tetapi menyatakan didakwa ketika menjadi terdakwa bukan dituntut,” jelasnya.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik dan aktivis 77-78, Syafril Sjofyan mengemukakan, Presiden Jokowi terdampak sebagai pelanggar konstitusi, jika Mendagri Tjahjo Kumolo tidak menonaktifkan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dari posisi Gubernur DKI Jakarta setelah masa kampanye selesai.
Potensi pelanggaran konstitusi yang dilakukan Presiden karena Ahok yang sudah berstatus terdakwa kasus dugaan penistaan agama Islam dan maju sebagai calon gubernur pada Pilkada DKI Jakarta akan mengakhiri masa cuti kampanye pada 11 Februari 2017.
“Jika Ahok tidak dicopot dari jabatan gubernur tanggal 12 (Februari 2017) Presiden Jokowi akan menerima konsekuensi baik secara yuridis, politik dan sosial yang harus ditanggung oleh Presiden Jokowi, sebagai pelanggar konstitusi. Sangat disayangkan jika Mendagri Tjahyo Kumolo menempatkan posisi yang tidak nyaman bahkan sangat buruk bagi posisi Presiden kedepan, hanya karena memihak dan membela Ahok yg sudah dalam posisi terdakwa dalam kasus pidana menista agama,” kata Syafril.