Nasional

Presidential Threshold 20% Buat Langkah Prabowo Nyapres Jadi Lebih Susah

DPR telah mengesahkan UU Pilkada meski sejumlah fraksi memutuskan walk out (WO), salah satunya partai Gerindra. Di balik penolakan Gerindra terhadap presidential threshold (PT) atau ambang batas capres, Gerindra punya kekhawatiran soal sang Ketum, Prabowo Subianto yang akan kesulitan nyapres.

UU Pemilu yang baru saja disahkan di DPR memuat ambang batas capres 20%-25%. Ini maksudnya adalah 20 persen perolehan kursi di DPR dan 25% perolehan suara nasional dalam pemilu.

Gerindra bersama sejumlah partai lain, termasuk Partai Demokrat, bersikukuh agar ambang batas capres dihilangkan atau 0%. Hal tersebut lantaran Gerindra khawatir Prabowo gagal nyapres kembali karena syarat yang cukup besar itu meski dalam Pemilu 2014 menggunakan syarat serupa.

Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono menuding pemerintah menginginkan presidential threshold sebesar 20-25% karena ingin agar Presiden Joko Widodo tak terhalang pada Pilpres 2019 nanti. Dengan angka tersebut, dia mengatakan hanya akan ada satu capres di 2019 nanti yakni Jokowi.

“PT 20% itu memang merupakan setting dari pada Jokowi sendiri. Kemungkinan calon tunggal akan terjadi,” ujar Arief dalam perbincangan dengan detikcom, Jumat (21/7/2017) malam.

Arief menjelaskan, Gerindra akan kesulitan memenuhi angka 20% bila ingin mengajukan Prabowo sebagai capres. Untuk saat ini, partai yang paling mungkin berkoalisi dengan Gerindra disebutnya hanya PKS. Bila digabungkan untuk perolehan kursi di DPR, dua partai ini tidak bisa memenuhi batas minimal.

Sementara untuk Partai Demokrat, Arief mengatakan akan cukup sulit bila diajak berkoalisi dengan Gerindra. Mengingat dinginnya hubungan Prabowo dan Ketum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Lalu untuk PAN, meski ada di koalisi pemerintah, namun kedekatannya dengan Demokrat tidak terbantahkan.

“Kadang kan dalam perhelatan pemilihan kepala daerah atau pilpres, Demokrat nggak mau ikut kita, mungkin karena SBY dan Pak Prabowo nggak mau nyatu. Pilpres 2014 nggak ke kita,” ucap Arief.

Dia mengkalkulasikan jumlah kursi di DPR. Gerindra baru bisa mengajukan capres bila dia berkoalisi bersama PKS dan PAN. Untuk Demokrat, Arief tampaknya pesimis mereka bisa berkoalisi.

“Kalau kita cuma sama PKS, kalau 20% nggak cukup, kalau ditambah sama PAN kita cukup. PKS nggak sampe 7%, hanya 5,5% kalau nggak salah. Gerindra 12%. PAN 7%, Demokrat 10%, nggak cukup juga itu kalau Demokrat dan PAN berdua aja. Kalau berempat berarti cukup tapi belum tentu sama platform-nya,” terang dia.

Gerindra pun menyebut ngototnya pemerintah dengan angka 20-25% untuk ambang batas capres karena memang Jokowi tak mau ada lawannya. Apalagi bila Jokowi harus bertemu kembali dengan Prabowo seperti di Pilpres 2014 lalu.

“PT didorong untuk melahirkan calon tunggal. Saya pesimis di MK ada rakyat yang menggunggat UU Pemilu. Parpol kan tidak boleh menggugat karena ada perwakilan di sana (DPR). Saya nggak yakin akan diterima kalau rakyat mau gugat,” sebut Arief.

Menurutnya, Pemilu 2019 akan menjadi pertarungan politik yang panas. Menuding pemerintah hanya ingin menghadirkan calon tunggal yakni Jokowi, Arief pun ingin mengkampanyekan untuk pemboikotan terhadap Pemilu.

“Harus dikampanyekan boikot pemilu. PT 20% merusak demokrasi. Rawan dengan mahar politik, nggak ada makan siang gratis, sama seperti Pilkada, apalagi pilpres,” tukasnya.

Seperti diketahui, UU Pemilu sah diundangkan hanya dengan kehadiran 6 fraksi saat sidang paripurna kemarin. Hanya fraksi-fraksi pendukung pemerintah yang mengambil keputusan UU Pemilu itu yakni PDIP, Golkar, PKB, PPP, NasDem, dan Hanura. PAN meski masuk dalam koalisi, memutuskan walk out dengan Gerindra, PKS, dan Demokrat.

To Top