Nasional

Polemik Pasal Penistaan Agama di Indonesia, Perlukah Dihapus?

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama akhirnya divonis bersalah dalam kasus penistaan agama. Putusan hakim yang menjatuhkan vonis dua tahun penjara dan terdakwa harus segera ditahan sebenarnya agak mengagetkan.

Jaksa menuntut Ahok terbukti bersalah melanggar Pasal 156 KUHP tentang penistaan suatu golongan. Adapun akim menyatakan Ahok terbukti bersalah melakukan penodaan agama dan melanggar Pasal 156 huruf a KUHP.

Dari sisi bentuk hukuman, vonis hakim juga lebih berat. Jaksa meminta hakim menjatuhkan hukuman terhadap Ahok dengan penjara 1 tahun setelah menjalani masa percobaan 2 tahun. Namun, hakim memutus 2 tahun penjara.

Dalam dunia peradilan, hakim memiliki kebebasan dan independensi dalam memutus perkara. Peristiwa hakim memutus di atas tuntutan jaksa itu disebut vonis ultra petita.

Putusan hakim kasus Ahok segera menimbulkan polemik. Ada sebagian masyarakat yang menyambut baik, tapi tak sedikit yang menilai putusan hakim itu keterlaluan.

Ada yang menilai bahwa Ahok pantas dihukum berat karena telah melakukan penistaan agama. Tapi ada pula yang menyebut bahwa kasus Ahok ini sebenarnya hanya “salah ucap”.

Sejak awal, kasus Ahok ini juga tak lepas dari aroma dan motif politik. Kita tahu, persaingan dalam Pilkada DKI sangat keras sehingga isu SARA begitu menghangat. Kubu ini menyatakan bahwa Ahok hanya korban tekanan massa. Sebelumnya, beberapa kali ada unjuk rasa menuntut Ahok diproses hukum.

Putusan hakim yang menggunakan pasal penistaan kepada Ahok membuka polemik lagi soal keberadaan pasal ini. Melalui akun resminya, Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa ikut menanggapi soal pasal penistaan agama. Mereka meminta Pemerintah Indonesia mengkaji kembali hukum penistaan agama.

Kasus penistaan agama yang dituduhkan ke Ahok menambah deretan peristiwa serupa yang terjadi di Indonesia. Sudah banyak orang yang diproses hukum dengan pasal penistaan agama.

Yang menarik, setiap kali ada kasus dugaan penistaan agama maka proses hukumnya selalu ada unsur tekanan massa. Tiap kali ada dugaan penistaan agama maka muncul kelompok tertentu yang ikut menekan aparat penegak hukum untuk mengadili pelaku.

Pada 2011 lalu di Temanggung juga ada kasus penistaan agama, yakni Antonius Richmon Bawengan yang menyebarkan selebaran dan buku yang dianggap melecehkan keyakinan agama tertentu. Antonius divonis secara maksimal berdasar KUHP, yaitu 5 tahun. Tapi, ada kelompok yang tak terima atas putusan itu. Lalu mereka merusak tempat ibadah dan sekolah milik pemeluk agama lain.

Kasus lain yang dialami Syamsuriati alias Lia Eden, pendiri Komunitas Eden. Wanita itu dinyatakan bersalah karena menyerukan penghapusan seluruh agama. Lia Eden diganjar hukuman penjara.

Ada juga Pemimpin Syiah di Kabupaten Sampang, Jawa Timur, Tajul Muluk alias Haji Ali Murtadho, yang dihukum dengan dakwaan penodaan dan penistaan agama.

Kasus penistaan agama yang cukup populer adalah yang dilakukan Arswendo Atmowiloto, yang kala itu menjadi Pemred Majalah Monitor pada tahun 1990. Majalah ini mengumumkan hasil survei mengenai tokoh yang paling diidolakan masyarakat Indonesia.

Hasil survei menempatkan Presiden RI kala itu, Soeharto, menempati urutan pertama. Sedangkan Nabi Muhammad berada di urutan kesebelas. Hasil tersebut memicu kontroversi dan menimbulkan gelombang unjuk rasa. Permintaan maaf Arswendo tak menghentikan kemarahan beberapa kelompok umat Islam. Hingga akhirnya Arswendo diproses hukum.

Hingga kini, Indonesia memang masih memberlakukan pasal larangan penistaan agama. Ada dua dasar hukum yang digunakan untuk menjerat pelaku penistaan agama.

Pertama, Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Kedua, Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam aturan itu, banyak larangan menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia. Ada pula larangan perbuatan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Pada 2010 lalu, beberapa aktivis sudah pernah mengajukan uji materi terhadap Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965 itu. Pemerintah bersikukuh aturan itu masih diperlukan. Bila ketentuan penistaan agama dicabut maka berpotensi menimbulkan konflik sosial karena para pemeluk agama bisa saling menghina.

Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi tersebut dengan alasan pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya.

MK berpendapat bahwa pasal penistaan agama tak mengancam kebebasan beragama, tak diskriminatif, serta tak berpotensi ada kriminalisasi terhadap penganut agama minoritas.

Kehidupan beragama di Indonesia memang unik. Indonesia terdiri dari banyak suku, agama, ras, budaya dan antar golongan. Ribuan orang yang berbeda itu sehari-hari harus hidup saling berdampingan.

Salah satu kunci agar mereka tak saling bertengkar adalah adanya kesepahaman bersama bahwa kita hidup di Indonesia. Untuk itulah, di antara mereka jangan saling menghina, memfitnah, dan menyinggung.

Dalam konteks itu, pasal penistaan agama memang masih diperlukan. Ini untuk menjaga agar pemeluk agama tidak saling menghina dan menista. Tapi, penerapan pasal ini harus sangat hati-hati.

Hemat penulis, penyelesaian kasus penistaan agama melalui proses hukum di peradilan akan sangat melelahkan. Belum lagi, proses peradilan sudah selesai, tapi polemiknya masih akan terus terjadi.

Untuk itulah, perlu ada jalur-jalur penyelesaian di luar peradilan. Misalnya melalui tanpa pengadilan (non justicia), mediasi hingga saling memaafkan. Penyelesaian model ini akan menunjukkan kedewasaan, kebijakan dan memberikan pembelajaran bagi publik.

Berangkali hanya kasus-kasus tertentu yang harus diselesaikan di peradilan. Namun, sekali lagi, harus diterapkan secara hati-hati. Jangan sampai pasal penistaan agama ini menjadi alat mengkriminalkan keyakinan atau pendapat seseorang.

Hakim harus melihat fakta hukum untuk menjunjung keadilan. Hakim jangan terpengaruh dengan tekanan massa dan pemberitaan media. Hakim juga jangan memutuskan perkara mendasarkan pada motif sesuai keyakinan pribadi agamanya.

Pertanyaannya, apakah hakim-hakim di negeri sudah bisa memiliki kualitas seperti itu? Semoga sudah. (ABDUL KADIR KARDING/Sekretaris Jenderal DPP PKB)

To Top