Nasional

Karena Pilgub DKI, PAN, PPP, dan PKB Akan Kehilangan Posisi Menteri?

Isu reshuffle kabinet meruak menyusul kabar bahwa tiga partai koalisi Jokowi-JK, yakni PAN, PPP, dan PKB tidak mau mendukung pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dalam Pilkada DKI Jakarta putaran kedua. Inilah dampak koalisi setengah hati. Apa persoalannya?

Sejak awal koalisi kepentingan transaksional sangat lekat dalam Kabinet Jokowi-JK sehingga mudah retak oleh kepentingan sesaat.

Koalisi setengah hati ini relatif berjalan sempoyongan, dan guncangan terjadi ketika Pilkada DKI berlangsung dimana koalisi Jokowi terpecah karena PPP, PAN dan PKB mendukung Agus-Sylvi yang kalah dan dikabarkan bakal mengalihkan dukungan ke Anies-Sandi. Karut-marut semacam ini lazim terjadi dalam demokrasi liberal multipartai dimana yang muncul adalah sistem presidensial semi parlementer.

Sehingga sebagai respon politik dari istana, sangat mungkin ada keputusan Presiden Jokowi untuk melakukan reshuffle kabinet kerja jilid III lantaran partai pendukung pemerintah tidak sejalan untuk mendukung Ahok-Djarot. Ketidakkompakan itu telah menusuk soliditas Kabinet Jokowi.

Dan, harus digarisbawahi bahwa Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri mengaku sempat melobi PAN, PKB, dan PPP untuk mendukung Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat. Megawati ingin agar parpol pendukung pemerintah juga solid bersatu saat mengusung calon di Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017.

Wajar saja, apalagi Jokowi sebagai petugas partai PDI-P jelas di bawah kendali Megawati. Nampaknya PAN, PKB dan PPP lebih berat hati untuk mematuhi kemauan politik Megawati, sehingga sangat mungkin palu godam dari Jokowi untuk mengurangi jatah menteri mereka di kabinet bakal terjadi.

Oleh sebab itu, masyarakat politik menduga kuat, jika tiga partai yang sebelumnya mendukung pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni yang tersisih di putaran pertama, tetap membelot, maka akan ada konsekuensi logisnya. Kabarnya, jatah menteri dari partai itu akan dikurangi atau dicoret. Itulah pembelajaran politik.

Kalau sampai PAN, PKB, dan PPP tidak mengalihkan dukungannya ke pasangan Ahok-Djarot, mereka harus bersiap menghadapi konsekuensi politik yang logis terjadi.

Di tengah sensitivitas umat Islam terhadap Ahok karena pertimbangan nilai-nilai dan ideologi, menghadapi pemilu dan pilpres 2019, kalau PAN, PKB dan PPP sekarang mendukung Ahok, bukan tidak mungkin parpol ideologi Islam tersebut akan ditinggalkan massa dan grassroot-nya sendiri, karena tak mampu mengagregasi dan mengartikulasikan apa yang menjadi aspirasi dan kehendak suara basis massa dan akar rumputnya. Itulah dilema yang dihadapi partai-partai berbasis massa Islam.

Taruhannya adalah Islam credential mereka bisa tergerus atau bahkan terkuras habis.Sekali lagi, jika benar PKB, PAN dan PPP tidak mendukung Ahok-Djarot, kursi-kursi menteri mereka di kabinet Jokowi, bisa saja diamputasi.

Di era demokrasi liberal dengan koalisi Jokowi yang setengah hati ini, politik transaksional memang mudah mencapai titik temu, namun juga mudah mengalami titik pecah. Mau apa lagi?

To Top