INFORMASI keliru, memfitnah, mempropaganda bahkan mengadu domba dan memecah belah dengan menggunakan dunia maya terus menjadi polemik. Informasi yang salah, tidak hanya menyesatkan si penerima informasi namun muatan hasutan yang terkadung di dalamnya bisa merusak tatanan stabilitas dan keamanan di negeri ini.
Jika tidak diantisipasi dari dini, dikhawatirkan informasi hoax akan menjadi bom waktu perpecahan yang lebih besar di masyarakat. Secara jangka panjang, informasi hoax bisa mempengaruhi pola pikir satu generasi secara tidak sehat.
Sebagai antisipasi, pemerintah jauh waktu telah menelurkan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bernomor 11 tahun 2008. Namun, makin maraknya pengguna dunia maya (elektronik) melahirkan persoalan-persoalan baru yang tidak terkaver dalam UU terdahulu, sehingga per-27 Oktober lalu, DPR dan pemerintah telah memberikan persetujuan untuk revisi RUU ITE dan 30 hari harus sudah dinomori di Sekretariat Negara.
Ada empat perubahan dalam UU ITE yang baru. Yang terkait dengan informasi hoax ada pada poin ketiga terkait dokumen elektronik sebagai bukti hukum sah di pengadilan. Pada ayat tersebut, pemerintah berhak menghapus dokumen elektronik yang terbukti menyebarkan informasi yang melanggar undang‑undang. Informasi yang dimaksud terkait pornografi, SARA, terorisme, pencemaran nama baik, dan lainnya.
Jika situs yang menyediakan informasi melanggar undang‑undang merupakan perusahaan media, maka akan mengikuti mekanisme di Dewan Pers.
Namun, bila situs yang menyediakan informasi tersebut tak berbadan hukum dan tak terdaftar sebagai perusahaan media (nonpers), pemerintah bisa langsung memblokirnya.
Fenomena hoax sudah marak ditemukan pra dan pascapilpres tahun 2014 lalu. Berita/postingan menjatuhkan dua pasang capres/cawapres dengan begitu mudah tersebar di dunia maya saat itu. Bahkan penyebar informasi semakin bertingkah dengan menyebar informasi bernada fitnah. Efeknya, tidak hanya saat ini, image terhadap personil kandidat itu sampai saat ini masih melekat dan dianggap sebagai kebenaran.
Mirisnya tidak hanya masyarakat awam, kalangan intelektual pun menganggap hal itu sebagai kebenaran. Seperti diungkapkan salah seorang anggota DPR-RI saat itu, yang meyakini adanya data Cikeas sebagai hasil riil pilpres. Meski telah dibantah pihak Cikeas bahwa informasi itu tidak benar, namun tetap masih banyak yang meyakininya.
Pihak keamanan pun sudah mencatat efek postingan hoax mengakibatkan terjadinya pembakaran terhadap tempat ibadah di Sumatera Utara beberapa waktu lalu. Begitupun terjadinya pengeroyokan terhadap seorang pedagang usai laga pertandingan sepakbola di GBK tahun lalu juga dilatari hasutan melalui dunia maya. Pedagang asongan itu pun tewas diamuk, begitu mudah direnggutnya nyawa seseorang akibat hasutan di dunia maya.