Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) segera mengeluarkan peraturan menteri (Permen), turunan dari revisi Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE). Aturan tersebut bertujuan meminimalkan penyebaran informasi palsu atau hoaks di Indonesia.
Pelaku yang membuat atau menyebarkan hoaks akan didenda Rp 1 miliar, sebagaimana diatur dalam UU ITE. Sedangkan platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, Google dan lainnya yang menjadi sarang hoaks bisa didenda Rp 500 juta.
“Kami tengah menyiapkan (Permen) dalam waktu dekat ini dan akan dikeluarkan sebagai panduan untuk menangani konten-konten yang bertentangan dengan UU ITE,” ujar Direktur Jenderal (Dirjen) Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan saat konferensi pers di Jakarta, Senin (3/2).
UU ITE sendiri telah direvisi pada 2016 lalu. Pada pasal 45A disebutkan, setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik dikenakan sanksi pidana penjara paling lama enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Kementerian juga telah merilis Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 soal Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE) pada 10 Oktober 2019 lalu, menggantikan PP PSTE Nomor 82 Tahun 2012.
Semuel mengatakan, Permen mengatur lebih rinci tentang tata kelola penyelenggara sistem elektronik (PSE) seperti Facebook dan Google mulai dari pendaftaran, persyaratan shingga konten. “Di Permen juga bakal diatur rincian terkait denda,” ujar dia.
Spesifik mengatasi penyebaran hoaks, kementerian menerapkan tiga tahapan. Ketiganya yaitu peringatan, pemblokiran, dan mengeluarkan PSE dari daftar kementerian.
Pada akhir tahun lalu, Semuel mengatakan bahwa PSE seperti Facebook, Google dan lainnya memiliki fungsi fasilitator bagi para penyebar konten negatif. Penyebaran informasi itu melalui media sosial, email, aplikasi pesan dan lainnya.
Semuel mencontohkan, pemerintah Amerika Serikat (AS) mengenakan denda kepada Facebook. Sebab, perusahaan teknologi itu dianggap teledor dalam pemanfaatan teknologinya lantaran beredar konten pornografi hingga hoaks di platform-nya.
“Kami ingin (membuat kebijakan sanksi) seperti itu. Seharusnya (PSE) yang ada di Indonesia) bisa mencegahnya, melakukan filter konten-kontennya sebelum terekspos karena mereka punya teknologinya,” kata dia pada November lalu (4/11).