Dugaan korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Sejumlah nama besar penerima aliran dana disebut-sebut akan muncul dalam surat dakwaan.
Dari sejumlah foto surat dakwaan yang beredar di media sosial, terdapat sejumlah nama bekas anggota DPR yang masuk dalam daftar penerima aliran dana. Mulai dari bekas pimpinan Badan Anggaran (Banggar) DPR Melchias Marcus Mekeng hingga anggota Komisi II DPR yang kini menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Jumlah aliran dana yang diterima beragam, tergantung jabatan.
Ganjar Pranowo mengaku senang jika persidangan perdana Kamis lusa membongkar seluruh nama bekas anggota dewan yang diduga menerima uang. “Yang janggal itu, di kasus itu disebut ada dua nama pimpinan komisi yang sama-sama dari PDIP. Di situ ada nama saya dan Arif Wibowo. Itu kan lucu,” kata Ganjar di Semarang, Senin (6/2).
Anggota DPR memang diduga punya andil besar dalam pengadaan proyek tersebut. Namun hingga kasus ini akan disidangkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru menetapkan dua pejabat Kementerian Dalam Negeri yakni Irman dan Sugiharto sebagai tersangka.
Keduanya disangka menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.
Meski demikian, KPK telah menerima pengembalian dana terkait korupsi proyek e-KTP dari 14 anggota DPR, termasuk dari dua tersangka. Lembaga antirasuah juga telah menyita uang Rp247 miliar yang diperoleh dari hasil penyidikan e-KTP sepanjang 2016.
Jumlah yang cukup besar, namun belum mampu menutupi kerugian negara akibat korupsi proyek e-KTP yang mencapai Rp6 triliun.
Bentuk kecurangan sistematis hingga keterlibatan sejumlah aktor membuat kasus ini dinilai memiliki pola korupsi tersendiri. Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Oce Madril mengatakan, kasus korupsi proyek e-KTP termasuk dalam pola korupsi berjamaah yang cukup sempurna.
Oce menyebut, kasus ini tak hanya menyeret pejabat Kemendagri sebagai penanggung jawab proyek, namun juga anggota DPR dan korporasi sebagai pihak swasta. Sikap korupsi berjamaah ini justru paling kentara dari anggota DPR.
Sebagai pihak yang memanfaatkan fungsi anggaran, anggota DPR berwenang menambah atau mengurangi anggaran yang dialokasikan untuk proyek e-KTP. Terlebih proyek tersebut memakan dana cukup besar yang pembahasan anggarannya tidak sekali jadi.
“Kita bisa lihat dari peran Banggar yang mengutak-atik anggaran. Kemudian dari Komisi II yang juga berperan besar dalam merekomendasikan proyek ini. Di sinilah muncul pola korupsi itu,” ujar Oce.
Tak heran dalam mengusut dugaan korupsi proyek e-KTP, KPK menyidik tiga proses penting dalam pelaksanaan proyek: perencanaan, pembahasan, hingga proses pengadaan.
Kemunculan aliran dana pada sejumlah anggota DPR, menurut Oce, juga tak datang tiba-tiba. DPR sejak lama memiliki pola negosiasi untuk meminta imbalan berupa uang atas kewenangan anggaran yang dimiliki.
Dari data KPK menunjukkan, para anggota DPR menerima uang dari berbagai pihak dengan pola penerimaan tarif yang berbeda-beda. Tarif penerimaan uang ini, kata Oce, disesuaikan dengan jabatan yang dimiliki di DPR.
Hal ini seperti terlihat pada foto surat dakwaan yang beredar tentang beragam jumlah aliran dana yang diterima anggota DPR. Mulai dari US$25 ribu, US$50 ribu, US$100 ribu, US$250 ribu, hingga US$1 juta, tergantung masing-masing jabatan.
Meski demikian, KPK tak dapat memastikan kebenaran surat dakwaan yang beredar. Karena berkas dakwaan memang tak hanya dilimpahkan ke pengadilan, namun juga pada dua tersangka yang akan segera menjadi terdakwa.
“Penentuan tarif seperti sudah ada rumusnya. Kalau pimpinan Banggar karena jabatan strategis jadi menerima di atas Rp10 miliar. Tapi kalau pimpinan Komisi II karena kewenangan tidak terlalu besar paling Rp500 juta sampai Rp1 miliar, jadi sesuai perannya masing-masing. Karena peran itu makanya mereka diberi imbalan,” kata Oce.
Oce berharap KPK dapat mengusut secara serius keterlibatan para pihak yang disebutkan dalam dakwaan. Ia meyakini ada indikasi suap yang diterima para anggota DPR.
Menurutnya, lembaga antirasuah hanya perlu menentukan apakah indikasi suap pada anggota DPR didukung bukti cukup, sehingga bisa menetapkan tersangka baru dalam kasus tersebut.
“Berapa pun jumlah dana yang diterima, sudah dikembalikan atau belum, tetap harus diproses hukum. Jadi jangan sampai ada kesan nama-nama besar kemudian diabaikan karena ada indikasi suap di situ,” ucapnya.