Pengadaan proyek e-KTP telah bergulir sejak 2011 di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Megaproyek itu menghabiskan anggaran dengan sistem multiyears sekitar Rp 6 triliun menggunakan pagu anggaran 2011-2012.
Besarnya nilai anggaran itu kemudian memunculkan aroma tak sedap. Saat itu Gamawan Fauzi, yang menjabat Menteri Dalam Negeri (Mendagri), yakin proyek tersebut tidak tersentuh tangan-tangan koruptor.
“Kalau ada (pelanggaran), ungkapkan saja. Saya malah dari awal minta tolong ke KPK, 2 kali presentasi ke mereka. ICW saya surati, saya juga minta ke BPKP. Kalau ada (pelanggaran), buka semua,” kata Gamawan di kantor Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu, 22 Juni 2011.
Sebenarnya sosialisasi untuk e-KTP tersebut sudah dilakukan sejak 2003. Kemudian pada 2011, proses pengadaan barang dan pembuatan e-KTP dilakukan. Saat itu Gamawan mengatakan pemenang tender akan segera diumumkan.
Saat itu pemenang tender adalah konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI). Konsorsium itu terdiri dari Perum PNRI, PT Sucofindo, PT LEN Industri, PT Sandipala Arthaput, dan PT Quadra Solution.
Dalam perjalanannya kemudian, proyek itu dilaporkan ke KPK oleh Government Watch (Gowa) pada 23 Agustus 2011. Saat itu, Direktur Eksekutif Gowa Andi W Syahputra menyebut proses pelelangan sejak perencanaan hingga lelang telah diarahkan ke konsorsium tertentu.
KPK pun merespons laporan tersebut meski sebelumnya lembaga antirasuah itu juga telah melakukan kajian sejak Februari 2011, sebelum proses tender dilakukan. Kemudian KPK pun memberikan rekomendasi kepada Kemendagri terkait dengan proyek itu yang disebut KPK tidak dilakukan. Meski, kemudian Gamawan mengklaim 5 dari 6 rekomendasi itu telah dilakukan.
KPK lalu melakukan pulbaket (pengumpulan bahan keterangan) sebelum menyelidiki perkara itu. Hingga akhirnya pada 22 April 2014 KPK menaikkan status penanganan perkara dari penyelidikan ke penyidikan.
KPK saat itu sekaligus menetapkan seorang tersangka dalam kasus tersebut, yaitu Sugiharto, selaku pejabat pembuat komitmen (PPK). Sugiharto merupakan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan di Direktorat Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri. Dia dijerat dengan pasal penyalahgunaan wewenang serta memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain.
Ketua KPK saat itu, Abraham Samad, menyebut kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut diperkirakan mencapai Rp 1 triliun. Saat itu, KPK juga tidak membantah adanya informasi tambahan dari Muhammad Nazaruddin terkait dengan kasus ini.
Ketika itu, sejumlah nama langsung dicegah KPK bepergian ke luar negeri. Mereka adalah Sugiharto, Irman (Dirjen Dukcapil), Isnu Edhi Wijaya (mantan Dirut Perum PNRI), Anang Sugiana Sudihardjo (Dirut PT Quadra Solution), dan Andi Agustinus (wiraswasta).
Proses penyidikan pun dilakukan KPK seperti biasa, dari pemeriksaan saksi hingga sejumlah penggeledahan. Waktu berlalu, tetapi penanganan kasus itu belum ada progres signifikan. Hingga pada akhirnya pucuk pimpinan KPK berganti dan diisi Agus Rahardjo cs pada Desember 2015.
Saat itu, Agus berkomitmen menyelesaikan utang-utang penanganan kasus, termasuk e-KTP. Saat itu, Agus juga menyebut penghitungan kerugian keuangan negara mencapai lebih dari Rp 2 triliun.
“Yang kita terima kerugian negaranya lebih dari Rp 2 triliun, menghitungnya itu dari BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan),” kata Agus di KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis, 16 Juni 2016.
Pada akhirnya, KPK mengumumkan tersangka lain dalam kasus itu setelah penanganan kasus lebih dari 2 tahun. Tersangka yang ditetapkan saat itu adalah Irman, mantan Dirjen Dukcapil.
“Penyidik telah menemukan dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan IR, mantan Dirjen Dukcapil, sebagai tersangka,” kata Plh Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati di kantornya, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat, 30 September 2016.
KPK lalu semakin intens memeriksa saksi-saksi dalam kasus itu. Nama-nama seperti Setya Novanto, Gamawan Fauzi, Anas Urbaningrum, Muhammad Nazaruddin, Agun Gunandjar, Chairuman Harahap, Agus Martowardojo, hingga Yasonna Laoly (tidak hadir) pun dipanggil untuk dimintai keterangan.
Kabiro Humas KPK Febri Diansyah pernah menyatakan, sepanjang 2016, KPK menerima pengembalian uang dari berbagai pihak terkait dengan kasus itu. Total pengembalian uang senilai Rp 250 miliar dengan rincian Rp 220 miliar dari 5 korporasi dan 1 konsorsium serta Rp 30 miliar dari perorangan.
Pengembalian dari perorangan itu berasal dari 14 orang, termasuk anggota DPR. Namun Febri enggan mengungkap siapa saja nama-nama itu. Meski demikian, Febri menegaskan pengembalian uang itu tidak menghapus unsur pidana.
KPK pun melimpahkan berkas perkara kasus itu ke Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta pada 1 Maret 2017. Berkas perkara itu nantinya akan disarikan menjadi 1 surat dakwaan bagi 2 tersangka. Berkas itu sendiri setebal 24 ribu halaman.
“Untuk perkara Sugiharto itu sekitar 294 saksi dan 5 ahli. Berkasnya tebalnya sekitar 13 ribu lembar. Untuk terdakwa Irman, diberkaskan 173 saksi dan 5 ahli, tebalnya 11 ribu halaman,” ujar jaksa penuntut umum KPK Taufiq Ibnugroho di PN Tipikor, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan ada banyak nama tokoh besar dalam kasus itu. Dia bahkan mengatakan semoga nantinya saat surat dakwaan kasus itu dibacakan dan tidak terjadi guncangan politik.
“Nanti Anda tunggu. Kalau Anda mendengarkan tuntutan yang dibacakan, Anda akan sangat terkejut. Banyak orang yang namanya akan disebutkan di sana,” kata Agus saat ditemui wartawan setelah bertandang ke kantor Staf Presiden, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Jumat (3/3).
“Anda dengarkan kemudian Anda akan melihat ya mudah-mudahan tidak ada guncangan politik yang besar, karena namanya yang disebutkan banyak sekali,” Agus menambahkan.
Namun lagi-lagi, Agus enggan membeberkan nama-nama itu. Kabiro Humas KPK Febri Diansyah hanya sedikit memberikan petunjuk tentang siapa mereka.
“Nanti akan muncul di dakwaan. Ada sekitar 200 lebih saksi yang kita periksa dan ada banyak nama di sana,” ucap Febri di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan.
“Ada tiga cluster besar dalam kasus e-KTP ini, dan ketiganya itu mulai dari sektor politik, birokrasi, dan swasta,” imbuh Febri.
Akan seperti apa kelanjutan kasus itu?
PN Tipikor Jakarta akan menggelar sidang perdana pada 9 Maret 2017. Majelis hakim yang akan mengadili kasus itu adalah John Halasan Butar Butar, Franki Tambuwun, Emilia, Anshori, dan Anwar. John Halasan Butar Butar akan menjadi ketua majelis hakim.