Seruan Presiden Joko Widodo agar memisahkan agama dan politik mendapat tanggapan beragam dari pemimpin agama serta pengamat dan sebagian mengatakan hal tersebut sulit dilakukan.
Dalam kunjungannya ke Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Jumat (24/03) lalu, Presiden berpendapat terjadi gesekan kecil dalam pemilihan kepala daerah yang seharusnya dihindarkan dengan tidak mencampuradukkan politik dan agama.
“Dipisah betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik,” kata Jokowi.
Namun, usai menjadi pembicara kunci dalam Refleksi Kebangsaan 71 Tahun Muslimat NU, Rais Am PBNU -yang juga menjabat Ketua MUI- KH Maruf Amin, mengatakan bahwa ‘agama dan politik saling mempengaruhi’.
“Politik kebangsaan itu juga harus mendapat pembenaran dari agama. Kalau tidak, bagaimana? Mungkin yang dimaksud presiden itu paham-paham yang bertabrakan, sehingga menimbulkan masalah.”
“Tapi kalau tidak ada pembenaran dari agama, bagaimana? Agama, negaram dan Pancasila itu kan saling menopang,” jelas Maruf Amin.
Dalam pidato yang disampaikannya di acara tersebut, Maruf Amin juga mengingatkan akan munculnya ‘radikalisme sekuler’ yang menginginkan agar ‘agama jangan mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara’.
“Dan bahkan Pancasila pun disekulerkan, ada upaya sekularisasi Pancasila,” kata Maruf Amin lagi.
Ketika ditanya, apakah permintaan untuk memisahkan agama dan politik yang disebut oleh Presiden Jokowi itu sebagai ‘radikalisme sekuler’, Maruf Amin mengatakan bahwa radikalisme sekuler sebagai, “Kelompok yang mendeligitimasi agama, sehingga agama tidak boleh ikut memberikan kontribusi pada kehidupan, padahal mesti ada penguatan, kalau tidak akan terjadi konflik berkepanjangan.”
Gerakan kecil?
Pengamat politik dan Islam, Yudi Latif mengakui bahwa ada gerakan ‘sekularisme radikal’ namun, baik di Indonesia maupun dunia, tergolong kecil.
“Elemen itu mungkin ada, tapi jumlahnya sebenarnya tidak signifikan,” kata Yudi lagi.
Terkait pernyataan Presiden Jokowi soal pemisahan antara agama dan politik, Yudi menilai tidak ada masalah dengan politik berdasar agama.
“Bahwa berpolitik dimotivasi oleh nilai-nilai keagamaan, itu suatu yang absah. Pasti kan komunitas manusia punya keyakinan kemanusiaan, termasuk nilai spiritual di dalamnya. Motivasi berpolitik berdasarkan keagamaan itu tidak apa-apa.”
Yudi menegaskan pernyataan Presiden Jokowi tersebut harus diartikan tidak secara harafiah.
“Maksudnya, jangan melakukan politisasi agama untuk mencapai tujuan-tujuan kekuasaan karena kalau agama dipolitisasi bisa mereduksi nilai agama itu sendiri.”
Menurut Yudi, dalam kasus pilgub Jakarta-lah, agama dipolitisasi sementara di sejumlah daerah lain, mayoritas Muslim bisa memilih bupati dan gubernur dari kelompok non-Muslim.
“Di tempat-tempat lain, agama tidak dipolitisasi. Di Jakarta itulah agama dipolitisasi, pangkal pembelahan either bersama kami atau bersama kalian, di sini agama jadi simbol peretakan, bukan penyatuan,” kata Yudi.
Yudi berpendapat gerakan sektarian yang muncul beberapa waktu belakangan ini tidak akan jadi membesar kalau ‘tidak ada dukungan dari elite-elite politik yang bermain’.
Dalam kasus pilkada Jakarta, tambahnya, sentimen agama bertemu dengan kepentingan politik yang juga lebih besar dari level Jakarta, tapi juga kepentingan nasional, yaitu Pilpres 2019.
“Di mana agama itu sudah jadi alat kepentingan politik, itu jadi ketegangan,” tambah Yudi.
Ketua MPR Zulkifli Hasan yang ikut hadir di acara Refleksi Kebangsaan 71 Tahun Muslimat NU mengatakan bahwa pernyataan Presiden Jokowi terkait politisasi agama sebaiknya dilihat dari konteksnya.
“Agama itu kan bicara nilai-nilai luhur, tapi kalau saling menghujat, memfitnah, itu politisasi agama, itu yang nggak boleh. Mungkin konteksnya itu. Ya konteksnya dulu kita lihat apa,” kata Zulkilfi.