Nasional

KPK Mengejar Korupsi Korporasi

Di negeri ini tidak ada yang meragukan kerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam upaya pemberantasan korupsi. Selama hampir 14 tahun KPK bekerja, sudah puluhan orang ditangkap melalui operasi tangkap tangan, ratusan kasus korupsi telah ditangani dan pelakunya dijebloskan ke penjara dan triliunan rupiah uang negara berhasil diselamatkan. Namun, di balik prestasi luar biasa tersebut ternyata terdapat satu pelaku yang belum dijerat oleh KPK, yaitu korupsi yang dilakukan oleh korporasi atau badan hukum. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sudah ditegaskan bahwa subyek hukum pelaku korupsi tidak saja orang, tetapi juga badan hukum atau korporasi.

UU Tipikor secara jelas menyebutkan korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi, baik itu merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Pasal 20 UU Tipikor pada intinya menyebutkan jika korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi, tuntutan atau penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah satu pertiga.

Proses pemberian efek jera bagi korporasi juga akan sangat efektif jika pelaku dijerat secara kumulatif tidak saja dengan UU Tipikor, tetapi juga dengan UU Pencucian Uang. Dalam Pasal 7UU Pencucian Uang, pada intinya disebutkan pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp 100 miliar.

Selain pidana denda, dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi, pencabutan izin usaha, pembubaran dan/atau pelarangan korporasi, perampasan aset korporasi untuk negara dan/atau pengambilalihan korporasi oleh negara.

KPK beralasan, proses hukum terhadap korporasi terhambat karena Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum mengatur secara khusus cara penyidikan dan penuntutan atas korporasi. KUHAP sebagai landasan hukum dalam penindakan dan penuntutan KPK hanya mengatur mengenai subyek hukum berupa orang. KPK khawatir jika landasan hukumnya belum jelas, korporasi yang dituntut berpotensi dibebaskan oleh hakim pengadilan tipikor.

Menjerat korporasi

Meski KUHAP belum mengatur tata cara memproses korporasi, upaya menjerat korupsi oleh badan hukum ini bukan tidak bisa dilakukan. Presedennya bahkan sudah dimulai sejak 2010 ketika kejaksaan menjerat PT Giri Jaladhi Wana (PT GJW) karena terlibat dalam korupsi pengelolaan Pasar Sentra Antasari, Banjarmasin.

Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin yang diperkuat Pengadilan Tinggi Banjarmasin akhirnya menyatakan PT GJW terbukti korupsi dan menjatuhkan pidana denda Rp 1,3 miliar dan tambahan berupa penutupan sementara PT GJW selama enam bulan. Mahkamah Agung kemudian menguatkan putusan tersebut pada 2013.

Penyidikan kasus korupsi oleh korporasi di negara lain juga sudah lazim dilakukan. Misal saja sejumlah perusahaan di Amerika Serikat dijatuhi denda karena melanggar foreign corrupt practices act, sebuah aturan yang melarang korporasi untuk menyuap pejabat pemerintah di suatu negara. Untuk memberikan efek jera, denda yang dijatuhkan terhadap korporasi bahkan bisa saja mendekati atau lebih tinggi daripada nilai proyek yang berupaya didapat dari praktik suap itu.

Pada 2014, Departemen Kehakiman Amerika Serikat menjatuhkan denda 2 juta dollar AS kepada perusahaan pembuat senjata Smith & Wesson karena terbukti menyuap para pejabat di Indonesia, Pakistan, dan negaranegara lain untuk memenangkan proyek penjualan senjata. Perusahaan energi raksasa Alstom juga harus membayar denda 700 juta dollar AS dan Marubeni Corporation didenda 88 juta dollar AS karena memberikan suap kepada pejabat Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan proyek tenaga listrik.

Praktik di Indonesia

Di Indonesia, keterlibatan korporasi dalam praktik korupsi dapat dicermati dari beberapa kasus yang pernah ditangani KPK. Data KPK tahun 2016 menyebutkan, lembaga ini telah menangani 146 kasus dengan tersangka pengurus korporasi atau perusahaan. Semua pengurus korporasi berhasil dijerat dan dijebloskan ke penjara, tetapi korporasinya tidak tersentuh dan tetap dapat beroperasi hingga saat ini.

Pada 2017, peluang menjerat korporasi yang terlibat korupsi semakin terbuka dengan lahirnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. Peraturan ini menetapkan syarat sebuah korporasi dapat dijerat dengan tindak pidana, yaitu korporasi mendapatkan keuntungan dari sebuah tindak pidana, membiarkan terjadinya tindak pidana, dan tidak mencegah terjadinya tindak pidana.

Pidana pokok untuk korporasi yang terbukti bersalah adalah denda dan jika tidak dibayar pengurusnya dapat dikenai hukuman kurungan hingga dua bulan.

Perma juga mengatur antara lain cara memanggil dan memeriksa korporasi sebagai saksi kasus pidana dan siapa yang mewakilinya. Aturan ini juga mengatur cara menagih denda jika korporasi dinyatakan terbukti bersalah. Untuk mencegah pihak korporasi menghindar dari proses hukum, maka aturan ini memungkinkan bagi penegak hukum untuk menyita korporasi sejak awal penyidikan dan melelang aset sebelum putusan hakim dijatuhkan.

Dengan adanya perma ini, maka tidak ada lagi kekosongan hukum acara pidana korporasi. KPK maupun institusi penegak hukum sebaiknya tidak lagi menghindar dan harus segera menjerat korupsi yang dilakukan oleh korporasi. Langkah ini penting tidak saja memberikan efek jera buat pelaku korporasi, tetapi juga dapat menjadi peringatan bagi korporasi lainnya untuk tidak melakukan tindakan menyimpang dan korup di masa mendatang. (Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch)

To Top