Nasional

Korupsi e-KTP dan Moral Pejabat DPR

Cerita korupsi di DPR memang tak pernah habis. Betapapun besarnya usaha memangkas korupsi oleh para elit di Senayan, toh korupsi kian menggurita.

Hasil survei Global Corruption Barometer (GCB) baru-baru ini menyebutkan DPR sebagai lembaga terkorup di Indonesia pada tahun 2016. Survey ini dilakukan selama 26 April-27 Juni 2016 dengan melibatkan 1000 responden di 31 provinsi se-Indonesia. Indikator penilaiannya ialah persepsi dan pengalaman masyarakat terkait korupsi.

Hasil GCB ini terbukti representatif karena menggambarkan menjamurnya scandaleum korupsi di Senayan. Salah satunya terkonfirmasi lewat korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP) tahun anggaran 2011-2012 yang riuh dipersoalkan akhir-akhir ini. Disinyalir ada banyak oknum anggota DPR yang terlibat.

Faktum negativitas ini menandai keniscayaan bahwa korupsi telah menggurita dalam tubuh DPR. Ia berwajah elitis, riskan terjadi, kontinual, masif, sistemik, diperankan banyak aktor, sulit dienyahkan dan tentunya-menuntut pengorbanan besar untuk melawannya. Korupsi ini berikutnya menjadi serangan bagi bagi demokrasi dan distorsi budaya politik yang bermartabat. Parahnya lagi, patologi tersebut tumbuh subur dalam tubuh DPR, lembaga representatif yang seharusnya menjadi wadah aspirasi rakyat.

Lantas, kita perlu bertanya mengapa korupsi sedemikian kuatnya mencekoki para elit politik di DPR? Apa akar epistemisnya? Mengapa ia sangat susah diperangi dan acap kali tak terbendung berhadapan dengan resistensi oleh lembaga-lembaga anti-korupsi?

Istana Banalitas Korupsi

Hannah Arrendt, filsuf perempuan keturunan Yahudi dalam bukunya The Origins of Totalitarianism, Eichmann In Yerusalem, pernah menurunkan laporan mencengangkan seputar sidang pengadilan Eichmann, petugas deportasi jutaan umat Yahudi yang dibantai NAZI. Laporan tersebut mencengangkan pembacanya karena menurut Arrendt, Eichmann bukanlah seorang penjahat dalam lokus yang sebenarnya. Dalam artian, ia tidak memiliki karakter jahat dan tidak pula dibayangi motif dendam dalam melakukan tugasnya. Sebaliknya, Eichmann adalah seorang warga Negara yang patuh, cerdas dan taat aturan. Loyalitas inilah yang disalahgunakan oleh pemimpin NAZI.

Yang salah dari Eichmann adalah bahwa otonomi berpikirnya tercabut karena berhadapan dengan otoritas penguasa. Ia kehilangan kemampuan berimajinasi. Arrendt menyebut fenomena ini sebagai banalitas, jenis kejahatan yang baru ditemukan pada abad 20. Hal ini menyebabkannya buta akan pelbagai pertimbangan rasional serta moral-etis dalam bertindak. Eksesnya pun fatal. Ia tak menyadari efek loyalitasnya serta mengalami distorsi yang akut dalam menilai korban. Jutaan umat Yahudi tak dilihat lagi sebagai manusia yang bermartabat. (Reza A. Watimena, 2012: 111-116).

Tesis Arrendt terkait banalitas kejahatan sangat boleh jadi kongruen dengan kiprah para koruptor di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui para elit politik yang terlibat koruptor adalah orang yang cerdas, sadar hukum, berpendidikan dan bukan penjahat dalam artinya yang sebenarnya. Para koruptor sebenarnya mengidap sindrom banalitas kejahatan. Mereka kehilangan daya pikir.

Kehilangan kemampuan berpikir demikian menjadi semakin mungkin ketika elit politik masuk dalam sebuah sistem koruptif yang sistemik, disokong konspirasi dan dilanggengkan oleh parpol. Sehingga korupsi dianggap sahih sambil berkilah di bawah payung loyalitas pada sistem. Negativitas korupsi seperti pengabaian kepentingan rakyat dan pelabrakan terhadap politik yang bermartabat niscaya menjadi nihil.

Akar epistemis ini hemat saya menjadi relevan ketika berhadapan dengan fakta mengguritanya korupsi di Senayan yang polanya seringkali berjemaah dan sistemik. Lantas, DPR tidak lagi menjadi rumah bagi perjuangan aspirasi rakyat. Ia menjadi istana yang strategis bagi para aktor banalitas korupsi.

Tegas Lawan Korupsi

Fakta ini menuntut upaya resistensi yang tentunya tidak ringan. Sikap dan cara yang ditempuh tak lain adalah dengan tegas melawan korupsi.

Pertama, cara yang strategis dan konkrit dimainkan oleh lembaga (KPK, ICW), relawan, insan pers dan kelompok yang punya kepedulian dalam melawan korupsi. Survei GCB 2017 melaporkan bahwa kinerja pemerintah oleh responden dalam memberantas korupsi mengalami peningkatan. Data statistik menunjukkan angka 65%.

Capaian ini naik signifikan dibandingkan laporan GCB pada 2013 yang bertengger pada angka 16 %. Sehingga, sudah seharusnya pemerintah perlu melindungi dan menjamin otoritas strategis kelompok-kelompok ini dalam memerangi korupsi. Salah satu contoh yang nyata adalah dengan menolak sebagian tuntutan pada revisi UU KPK No 30 tahun 2002 usulan DPR yang terindikasi mengancam posisi KPK dan militansi KPK dalam memerangi korupsi.

Kedua, tegas menolak elit politik yang koruptif. Penolakan disini dapat berbentuk sanksi sosial semisal dengan tidak memilih elit politik yang memiliki track-record terkait skandal korupsi dalam pentas elektoral. Selain itu, usaha melawan korupsi dalam formatnya yang paling esensial dapat diampuh dengan menumbuhkan semangat anti korupsi, memiliki independensi dalam berpikir serta dapat secara kritis-rasional menghadapi fenomena kehidupan.
Pada akhirnya, upaya-upaya ini diharapkan agar DPR tidak lagi dikriminalisasi sebagai tempat strategis bagi upaya koruptif. Ia adalah rumah tempat perjuangan aspirasi rakyat, politik serta demokrasi yang bermartabat.

To Top