Proses pergantian kepemimpinan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sangat memalukan institusi DPD dan parlemen Indonesia. DPD yang dihadapkan dapat hadir sebagai pembeda, mempunyai standar etik yang buruk.
Menurut pandangan pengamat hukum dari Indonesia Legal Roundtable, Erwin Natosmal, kesediaan Oesman Sapta Odang (OSO) untuk memimpin DPD sebenarnya tidak bisa diterima oleh publik. Hanya saja publik sudah enggan untuk berbicara soal DPD yang selama beberapa tahun ini terus diwarnai kericuhan, sejatinya perebutan kepemimpinan.
Erwin Natosmal mengkritik sikap OSO yang terkesan semaunya dengan memegang tiga jabatan sekaligus, yakni Ketua Umum Hanura, Ketua DPD RI dan Wakil Ketua MPR.
“Menurut saya, tindakan tersebut jelas sebuah pelanggaran etik yang serius. Tindakannya yang rangkap jabatan sebagai pimpinan MPR dan DPD serta ketua Partai Hanura sedang menghina akal sehat publik,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Sekjen Partai Hanura Dadang Rusdiana menilai, rangkap jabatan itu tidak masalah. Sebab, tidak ada aturan yang melarang.
Ia juga yakin OSO tetap bekerja optimal baik sebagai pimpinan MPR, DPD dan Ketua Umum Hanura.
“Saya kira Pak OSO sudah berpengalaman dalam membagi waktu. Apalagi di DPD kan bersifat kolektif. Jadi tidak ada masalah,” kata Dadang.
Memang tidak ada aturan hukum yang melarang perangkapan tiga jabatan tersebut. Akan tetapi, baru kali ini juga DPD dipimpin oleh ketua umum partai sekaligus pimpinan MPR.
“Itulah masalahnya, republik kita tercinta ini belum memiliki undang undang atau aturan yang melarang rangkap jabatan pada lembaga tinggi negara. “Secara teks tidak ada pasal ketentuan yang mengatur larangan itu. Tapi kita mesti tahu bahwa ini dua lembaga yang berbeda. DPD dan MPR itu dua lembaga yang berbeda,” ungkap Margarito Kamis, pengamat hukum tata negara.
Oleh karena itu, kata Margarito Kamis, dirinya yakin OSO akan memilih salah satu dari dua jabatannya di parlemen. “Saya optimis dia (OSO) akan lepaskan jabatan. Yang akan dilepaskan perkiraan saya adalah wakil ketua MPR RI,” kata Margarito.
Pilihan tersebut, lanjut Margarito, disebabkan OSO akan menjadi orang nomor satu di sebuah lembaga tinggi negara. Sementara jabatan di MPR RI hanya menempatkan OSO pada posisi lapis kedua. “Di DPD dia menjadi top of the top,” jelas Margarito.
Namun, jika OSO ternyata tidak mau melepaskan salah satu jabatannya di parlemen, Margarito mengaku harus mengurut dada. “Jika tidak lepas itu malapetaka untuk hukum tata negara kita,” terang Margarito.
“Karena itu ini menjadi jabatan yang berbeda. Karena ini lembaga negara tidak bisa dirangkap. Salah satu harus dilepaskan. Tidak bisa dirangkap. OSO harus pilih salah satunya,” papar Margarito Kamis.
Dengan masuknya tokoh partai politik sebagai ketua DPD RI, Margarito mengatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan terutama terhadap tugas utama kelembagaan. Sebagaimana diketahui bahwa DPD RI merupakan lembaga perwakilan bagi daerah. “Secara konstitusional. Sekali pun DPD RI dipenuhi orang parpol, itu tidak ada masalah,” kata Margarito.
Saat dikonfirmasi, OSO mengatakan dirinya belum tahu apakah akan melepaskan jabatannya di MPR RI atau tidak. “Saya juga enggak ngerti. Kalau diminta dan diharuskan oleh anggota, saya harus tanya juga mekanisme itu menguntungkan DPD atau tidak,” kata OSO.