Nasional

Kesaktian Baju Kotak-Kotak Telah Hilang

Posted on

Kesaktian baju kotak-kotak yang pertama digunakan pada Pilkada DKI 2012 rupanya hanya sakti ketika dikenakan Joko Widodo.

Jokowi dua kali menggunakan ikon kotak-kotak tersebut: saat maju Pilgub DKI berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama dan Pilpres 2014 bertandem dengan Jusuf Kalla.

Berharap mengulang kesuksesan dengan baju bercorak kotak-kotak, sejumlah calon PDIP di Pilgub Banten dan Jabar (penyanggah Jakarta) pun mengikuti langka serupa. Pada 2013, artis-politisi Rieke Diah Pitaloka berpasangan dengan Teten Masduki mencoba peruntungan dengan menantang petahana Ahmad Heryawan yang berpasangan dengan aktor Dedy Mizwar.

Sempat digadang-gadang akan memenangkan pertarungan menyusul kemenangan Jokowi pada tahun sebelumnya, pasangan Rieke-Teten akhirnya kandas. Heryawan-Mizwar pun akhirnya duduk nyaman di Gedung Sate.

Dalam berbagai kesempatan saat kampanye, Rieke dengan bangga mengenakan baju kotak-kotak sebagai atribut resmi kampanyenya.

Pascakekalahan, Rieke-Teten sempat menggugat ke MK karena menuduh terjadi kecurangan pemilu, dengan menyebut ada 11 juta masyarakat yang tak bisa memilih. Namun, MK menolak seluruh permohonan mereka dengan memutuskan tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif yang secara signifikan dapat mempengaruhi peringkat perolehan suara masing-masing pasangan calon dalam Pilkada Jawa Barat.

Politisi PDIP yang ingin mendapatkan “kesaktian” dari baju kotak-kotak berikutnya adalah Rano Karno di Pilkada Banten pada 15 Februari 2017. Rano yang berpasangan dengan Embay Mulya Sarief kalah sangat tipis dengan Wahidin Halim-Andika Hazrumy.

Sempat mengadu ke MK tapi ditolak, Rano pun terpaksa mengakui kekalahan lawan. Berang karena kalah, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri mencopot Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP Kabupaten Serang Ida Rosida Lutfi dan Ketua Dewan Pimpinan Cabang PDIP Kota Tangerang Hendri Zein karena dinilai tak becus mengeruk suara.

Pemberhentian keduanya dua hari pascapencoblosan merupakan dampak dari kekalahan pasangan Rano-Embay di Kabupaten Serang dan Kota Tangerang. Sekali lagi, baju kotak-kotak tak mampu mengkotakkan para pemilih untuk fokus mencoblos pemakainya.

Terbaru adalah pasangan Ahok-Djarot. Berniat mempertahankan kursi Jakarta 1, PDIP masih mempertahankan baju kotak-kotak sebagai seragam resmi kampanye, dari timses tingkat atas sampai lapangan.

Dalam banyak kesempatan, baju kotak-kotak sepertinya malah menjadi blunder akibat perilaku kader di tingkat bawah yang menyalahi aturan. Ada yang tertangkap kamera bagi-bagi sembako, marah-marah, dan sikap tak terpuji lain saat mengenakan seragam kotak-kotak. Bagi citra Ahok-Djarot, ini adalah pukulan telak.

Belum lagi motif kotak-kotak yang di media sosial digiring dengan asosiasi serbet, untuk membuat konotasi rendahan. Kemampuan konotasi adalah menciptakan mitologisasi, dan ini sangat berhasil dengan munculnya istilah “bani serbet” untuk pendukung Ahok-Djarot. Olok-olok tersebut tak pantas tapi fakta di lapangan berbicara seperti itu.

Jadi, praktis hanya Jokowi yang berhasil menang dengan baju kotak-kotak.

Tentu saja, menang-kalah pemilu tak bisa ditentukan oleh atribut kampanye. Ada banyak faktor lain yang lebih signifikan, seperti kualitas calon, mesin politik, strategi kampanye dan komunikasi, serta “gizi” yang memadai.

Akan tetapi, ada ungkapan Jawa, ajine rogo songko busono (harga diri dapat dinilai dari busana yang dikenakan). Jadi, busana adalah soal pembentukan citra calon di mata para pemilih.

Barangkali motif kotak-kotak memang ditakdirkan hanya “aji” bagi Jokowi, tapi tidak yang lain. Tahun depan ada Pilkada Jabar. Kita lihat apakah calon PDIP akan berani kembali mengenakan baju kotak-kotak yang kini sudah berasosiasi dengan kain serbet itu.

Terbanyak Dibaca

Exit mobile version