Nasional
Kenapa Persekusi Makin Marak Terjadi di Indonesia?
Tidak ada asap kalau tidak ada api. Pepatah klasik itu masih relevan dengan kondisi sekarang. Seseorang atau kelompok tidak mugkin melakukan persekusi kalau tidak ada penyebabnya.
Psikolog Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Prof Risan Rusli melihat kondisi tersebut sebagai sebbuah sebab-akibat. Ia menyarankan kepada pengguna media sosial untuk menghentikan perilaku menohok, yakni menunjuk langsung pribadi atau kelompok tertentu dengan ungkapan negatif.
“Pengguna media sosial harus lebih pintar dalam memilah-milah konten yang perlu mereka komentari, lebih jeli dalam melihat situasi, kalau bukan bidangnya tidak usah ikut berkomentar,” kata Risan Rusli di Palembang, Sabtu (10/6/2017).
Menurut dia, ungkapan-ungkapan yang menohok merupakan sebab yang berakibat pada tindakan kelompok tertentu melakukan persekusi, karena merasa tidak puas dengan ungkapan tersebut.
Selanjutnya, persekusi timbul sebab adanya kebersamaan kelompok tertentu sehingga berani memaksa korban, yakni pembuat ungkapan untuk melakukan apa yang diinginkan pelaku agar korban tersakiti.
“Korban berani membuat ungkapan yang menohok karena secara psikologis ia berada pada batas akhir ketakutan atas kondisi dilihat dan dirasakan, sehingga dari ketakutan itulah justru memunculkan keberanian untuk mengungkapkan atau menohok,” katanya.
Menurutnya, persekusi berbeda dengan tindakan main hakim sendiri di mana aksi persekusi melalui tahap perencanaan, mencari, kemudian memaksa serta mengeroyok.
Sedangkan tindakan main hakim sendiri muncul karena spontanitas. Karena itu ia mengingatkan, pemerintah untuk lebih terbuka dalam berbagai hal, terutama instansi kepolisian yang paling mendapat sorotan masyarakat.
“Di satu sisi masyarakat harus pintar bermedia sosial, di sisi lain aparat kepolisian harus terbuka dengan laporan masyarakat dan bersikap profesional, sebab harus diakui saat ini masyarakat masih belum puas dengan kinerja aparat kepolisian,” kata Risan Rusli.
Sementara pengamat Hukum Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang, Faisol Burlian mengatakan baik korban maupun pelaku persekusi berpotensi sama-sama terjerat hukuman.
“Pelaku persekusi dihukum karena memang tindakannya dilarang oleh norma hukum, tetapi korban juga bisa terjerat hukum jika terbukti terdapat unsur pencemaran nama baik, dalam hal ini UU ITE,” kata Faisol Burlian.
Di dalam KUHP tindakan persekusi termasuk penghilangan kemerdekaan orang lain dan penganiayaan di mana deliknya sendiri sudah diatur, hanya istilah persekusinya yang baru.
Ia menambahkan, sikap responsif aparat kepolisian sangat dibutuhkan untuk meredam persekusi, sebab latar belakang tindakan tersebut adalah karena ketidakpuasan sekelompok orang atau ormas terhadap kinerja kepolisian dalam menertibkan berbagai pelanggaran terutama yang menyangkut moral.