Istilah justice collaborator (JC) kini kerap terdengar, khususnya dari Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Di tempat ini, sejumlah tersangka korupsi berlomba-lomba mengajukan diri untuk mendapatkan status JC.
Mulai dari Bupati Klaten Sri Hartini hingga tersangka kasus Hambalang Choel Mallarangeng memohon agar status itu dilekatkan kepada dirinya. Beruntung bagi mantan anggota DPR dan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin serta mantan anggota DPR Damayanti Wisnu Putranti yang telah dulu mendapatkan status tersebut.
Status JC memang menggoda bagi tersangka korupsi. Banyak keuntungan bisa didapat dengan menjadi JC dalam kasus yang tengah menjerat seseorang. Selain akan mendapatkan perlindungan, hukuman pun bisa dikurangi dari yang semestinya didapat.
Istilah justice collaborator sendiri sebenarnya bukan barang baru dalam dunia hukum Indonesia. Banyak perundang-undangan yang menyebutkan seputar JC dan menjelaskan seputar maksud dan syarat dibukanya kemungkinan seseorang menjadi JC.
Setidaknya, JC diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Antikorupsi PBB, dan UU Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi PBB.
Demikian pula dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, Inpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, serta Peraturan Bersama Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, Ketua KPK dan Ketua LPSK tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelaku dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
Jika melihat kepada SEMA Nomor 4 Tahun 2011, pengertian JC adalah seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan bersedia bekerja sama dengan aparat penegak hukum serta menjadi saksi dalam proses peradilan.
Syarat menjadi Justice Collaborator dan Keuntungannya
Untuk bisa menjadi JC, seseorang harus memenuhi persyaratan yang ditentukan. Ini memberi makna bahwa tidak semua yang berstatus tersangka bisa menjadi JC.
Syarat itu antara lain, tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana yang serius atau terorganisir, seperti korupsi, pelanggaran HAM berat, narkoba, terorisme, tindak pidana pencucian uang, dan human trafficking.
Syarat lainnya, seorang JC harus memberikan keterangan yang signifikan, relevan, dan bernilai tinggi. Selain itu, seorang JC bukanlah pelaku utama dalam kasus yang menjeratnya.
Seorang JC juga harus mengakui kejahatannya dan mengembalikan sejumlah aset yang diperoleh dari tindak pidana yang dituduhkan yang disebutkan dalam pernyataan tertulis. Terakhir, seorang JC harus bersedia memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses persidangan.
Jika syarat tersebut dipenuhi, maka seorang JC mendapatkan hak yang antara lain dalam bentuk perlindungan secara fisik dan psikis, perlindungan hukum, penanganan secara khusus dan penghargaan.
Penanganan secara khusus itu bisa berbentuk pemisahan tempat penahanan dari tersangka lainnya dalam kasus yang sama, pemisahan pemberkasan perkara dengan tersangka lainnya, penundaan penuntutan, penundaan penyidikan dan penuntutan serta memberikan kesaksian di persidangan tanpa memperlihatkan wajah asli atau identitas.
Sedangkan untuk penghargaan, seorang JC bisa mendapat keringanan tuntutan hukuman oleh penuntut umum, termasuk menuntut hukuman percobaan dan pemberian remisi tambahan atau hak-hak narapidana lainnya.
Biasanya pula, hakim dalam menentukan vonis yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan bantuan yang telah diberikan seorang JC. Misalnya dengan menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus dan menjatuhkan hukuman paling ringan di antara terdakwa lainnya dalam kasus yang sama.
Tak sering diungkap, sepanjang 2016-2017 setidaknya ada lebih dari 10 tersangka kasus korupsi yang mengajukan permohonan menjadi JC kepada KPK. Ada yang diterima dan ada pula yang ditolak KPK dengan sejumlah alasan.
Yang paling fenomenal tentu saja Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. Kasusnya sendiri dianggap sebagai korupsi besar-besaran yang menyentuh kalangan pejabat tinggi ketika itu. Dengan status JC, dia dianggap berhasil membantu KPK membongkar sejumlah kasus korupsi lainnya.
Sebut saja keterangan Nazaruddin dalam kasus suap Wisma Atlet yang menyeret keterlibatan pengurus Partai Demokrat, salah satunya mantan Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum.
Keterangannya juga banyak membantu dalam pengungkapan kasus korupsi proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang di Bogor, Jawa Barat.
Kini, Nazaruddin juga mengungkap adanya skandal dalam beberapa proyek yang dikerjakan pemerintah. Salah satunya korupsi dalam pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP) yang merugikan keuangan negara lebih dari Rp 2,3 triliun.
Uniknya, dua tersangka dalam kasus e-KTP yaitu Irman dan Sugiharto juga mengajukan diri sebagai JC. Demikian pula dengan Choel Mallarangeng yang mengaku siap membongkar nama-nama yang pernah disebut terlibat dalam kasus Hambalang.
Status JC juga diberikan kepada mantan anggota Komisi V DPR Damayanti Wisnu Putranti, tersangka dalam kasus suap proyek di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Keterangan Damayanti, baik dalam penyidikan maupun saat persidangan setidaknya menyeret keterlibatan dua pengusaha dan empat anggota Komisi V DPR sebagai tersangka.
Sebagai kompensasi, Damayanti mendapat tuntutan pidana lebih ringan dari jaksa penuntut KPK. Selain itu, keringanan hukuman juga diberikan majelis hakim yang memimpin persidangan.
Tapi, tak semua permohonan JC dikabulkan KPK. Jaksa KPK pernah menolak permohonan JC yang diajukan Berthanatalia Ruruk Kariman, kuasa hukum Saipul Jamil. Bertha merupakan salah satu terdakwa kasus dugaan suap pengaturan vonis perkara pencabulan anak yang menjerat Saipul Jamil.
Menurut jaksa Dzakiyul Fikri, penolakan pengajuan JC Bertha lantaran perbuatan terdakwa yang berperan aktif dalam pemulusan perkara tersebut dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan.
Bertha juga dinilai berperan paling aktif dalam memuluskan suap pengaturan vonis kliennya. Untuk itu, JPU menilai istri dari hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Bandung itu tak layak diberikan JC.