Suatu malam di bulan Maret 2009, Hary Tanoesoedibjo datang ke rumah Antasari Azhar. Dia berpesan sebagai utusan Cikeas dan meminta Antasari sebagai ketua KPK tidak menahan Aulia Pohan. Begitulah pengakuan Antasari, yang disampaikan di Bareskrim, sehari menjelang pencoblosan Pilkada DKI 2017.
Aulia Pohan adalah besan SBY. Dia tersangkut dengan apa yang disebut sebagai korupsi dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia Rp 100 miliar, dan sejak ditahan oleh KPK di zaman Antasari, dia menjadi isu nasional, tentu karena statusnya sebagai besan SBY, presiden RI.
Kasus pengucuran dana Yayasan itu bermula dari rapat dewan gubernur BI, 3 Juni 2001, yang dihadiri gubernur BI saat itu, Burhanuddin Abdullah, para deputi masing-masing Anwar Nasution, Aslim Tajuddin, Oey Hoey Tiong, Bun Bunan Hutapea, Maman H. Sumantri dan Aulia Pohan.
Bila mengikuti risalah persidangan Burhanuddin, rapat itu awalnya membahas evaluasi perekonomian, tapi kemudian ada agenda rapat berikutnya yaitu komitmen untuk memberikan bantuan kepada para mantan pejabat BI yang tersangkut perkara hukum. Para mantan petinggi BI yang dimaksud adalah mantan gubernur BI, Soedrajad Djiwandono; Paul Soetopo, Hendro Budiyanto, Heru Supraptomo dan Iwan R. Prawiranata. Mereka menjadi tersangka kasus BLBI.
Dalam rapat, semua peserta berbicara. Bun Bunan mengungkapkan bahwa anggaran BI saat itu sedang defisit, sehingga tidak bisa mengalokasikan dana kepada para mantan pejabat BI yang tersangkut hukum. Namun, keputusan harus diambil karena merupakan komitmen dari rapat dewan gubernur sebelumnya. Bun Bunan lantas memberikan alternatif untuk menggunakan dana di Yayasan.
Adapun Oey menerangkan, dari aspek yuridis, uang Yayasan milik Bank Indonesia. Sementara Aulia Pohan menyatakan, uang Yayasan bisa digunakan untuk proses amandemen Undang-Undang BI, penyelesaian BLBI, kebutuhan dana anggota DPR.
Rapat akhirnya memutuskan penyisihan dana Yayasan Rp 100 miliar. Perinciannya untuk Sudradjad Djiwandono ( Rp 25 miliar), Heru Supraptomo (Rp 10 miliar), Hendro Budiyanto (Rp 10 miliar), Paul Soetopo (Rp 10 miliar) dan Iwan Prawiranata ( Rp 13,5 miliar). Uang Yayasan juga mengali rk anggota DPR, Hamka Yandhu dan Antony Z. Abidin (Rp 28,5 miliar), dan perantara dari pejabat BI yakni Rusli Simanjuntak yang saat itu menjabat mantan kepala Biro Gubernur BI (Rp 3 miliar).
Kasus ini kemudian menjerat semua pejabat BI yang ikut rapat kecuali Anwar Nasution. Majelis hakim di Pengadilan Tipikor, pada 29 Oktober 2008,menghukum Burhanuddin lima tahun penjara. Bulan berikutnya,di pengadilan yang sama, Oey dan Rusli diganjar hukuman penjara masing-masing empat tahun.
Pertengahan tahun 2009, giliran Aulia Pohan dan Sumantri dihatuhi hukuman 4,5 tahun penjara, dan Bun Bunan EJ Hutapea dan Aslim Tadjudin divonis 4 tahun penjara.
Sewaktu Aulia Pohan sebagai tersangka dan ditahan oleh KPK, 27 November 2008, SBY menyatakan, dirinya sebagai pribadi bersedih. Dia mengaku harus menenangkan keluarga besar besannya sebagai bagian dari keluarga yang tentunya harus saya jalankan dengan sebaik-baiknya,” ujarnya.
Tapi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, SBY mengaku, hukum harus ditegakkan. Menurut dia, kalau Aulia Pohan bersama-sama yang lain dianggap melakukan kesalahan, tentu proses penegakan hukum harus ditegakkan. Dia saat itu juga berjanji, tidak mengintervensi, tidak akan mencampuri proses hukumnya.
Dan ucapan SBY itu terbukti, karena setidaknya Aulia Pohan dijatuhi hukuman 4,5 tahun. Bahwa Antasari kemudian membuat pengakuan, Hary Tanoesoedibjo telah datang menemuinya sebagai utusan SBY, untuk menyampaikan pesan agar Aulia Pohan tidak ditahan, benar-tidaknya, tentu hanya Antasari yang tahu.
Adik ipar bernama Arif Budi Sulistyo
Satu hal yang jelas, pada hari yang sama sewaktu Antasari membuat pengakuan di Bareskrim telah didatangi Hary Tanoesoedibjo agar dirinya tidak menahan Aulia Pohan, nama Arif Budi Sulistyo muncul dalam surat dakwaan Ramapanicker Rajamohan Nair, Direktur PT EK Prima Ekspor Indonesia.
Rajamohan adalah terdakwa kasus suap untuk Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Handang Soekarno, sebesar Rp 1,9 miliar. Suap itu diduga diberikan agar Handang membantu menyelesaikan sejumlah permasalahan pajak yang dihadapi PT EKP.
Siapa Arif Budi Sulistyo?
Dia adalah Direktur Operasional PT Rakabu Sejahtera, perusahaan kayu lapir yang didirikan oleh Presiden Joko Widodo. Dia suami dari Titik Ritawati, adik Jokowi. Selama proses penyidikan, nama Arif tidak pernah dicantumkan dalam daftar pemeriksaan saksi yang dipanggil penyidik KPK meskipun pejabat KPK mengaku pernah memeriksa Arif, Januari silam.
Nama Arif kemudian muncul dalam surat dakwaan Rajamohan karena Rajamohan diduga pernah meminta bantuan Arif terkait dengan permasalahan tax amnesty PT EKP.
PT EKP yang terdaftar sebagai wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Kalibata, tercatat memiliki sejumlah permasalahan pajak pada kurun 2015-2016. Di antaranya adalah pengajuan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi), surat tagihan pajak pertambahan nilai, penolakan pengampunan pajak (tax amnesty), pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak, dan pemeriksaan bukti permulaan.
Di kertas dakwaan disebutkan, Rajamohan meminta bantuan Arif dengan mengirimkan dokumen-dokumen pajaknya melalui pesan WhatsApp. Dokumen-dokumen itu diteruskan oleh Arif kepada Handang.
Tak lupa Handang mengirim pesan Whatsapp kepada Handang: “Apapun keputusan Dirjen. Mudah2an terbaik buat Mohan pak. Suwun.” Pesan itu dibalas oleh Handang: “Siap bpk, bsk pagi saya menghadap beliau bpk. Segera sy khabari bpk.”
Dalam proses penyidikan oleh KPK, pekan lalu, Handang mengaku sudah kenal lama dengan Arif Budi Sulistyo.
Juru Bicara KPK, Febriansyah menyatakan, Arif Budi Sulistyo diduga mitra bisnis terdakwa (Rajamohan). Dia diduga mengenal pejabat-pejabat di Ditjen Pajak, dan hal itu yang akan dibuktikan oleh KPK.
Antara lain Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta, khususnya Muhammad Haniv. Tahun lalu, 22 September, Haniv bertemu dengan Handang dan menyampaikan bahwa Arif Budi Sulistyo berkeinginan untuk bertemu dengan Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi. Dan keesokan harinya, Handang mempertemukan Arif Budi Sulistyo dengan Ken di lantai 5 Gedung Ditjen Pajak.
Bagaimana reaksi Jokowi?
Berbicara kepada wartawan di Istana, Jokowi menyerahkan urusan itu kepada proses hukum. Menurut dia, semua harus menghormati proses hukum yang ada di KPK. Dia juga yakin, KPK akan bekerja profesional memproses semua kasus.
Pernyataan Jokowi itu hampir dengan yang pernah disampaikan oleh SBY saat Aulia Pohan dijadikan tersangka. Bedanya, SBY menyampaikan pernyataan setelah besanya menjadi tersangka, sementara Jokowi, memberikan pernyataan saat nama adik iparnya disebut dalam dakwaan.
Dulu dan sekarang memang bisa sama, bisa juga berbeda.