Masyarakat diharapkan turut mengawal pengusutan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP).
Sebab, ada kekhawatiran kasus tersebut rawan digembosi kepentingan politik tertentu.
“Makanya kita ajak warga untuk terlibat dalam proses mengawal kasus e-KTP. Kita ajak kawal agar upaya pelemahan dalam proses persidangan (tidak terjadi),” kata peneliti Transparency International Indonesia (TII) Agus Sarwono di sela-sela kegiatan kampanye pengusutan kasus e-KTP saat car free day di Bundaran Hotel Indonesia.
Dugaan itu, muncul setelah wacana revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, kembali mencuat.
Setidaknya, sudah tiga kali wacana revisi UU KPK mencuat di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
“Wacana revisi UU KPK yang Jokowi sudah minta hentikan (sebelumnya),” ujarnya.
Tarik ulur revisi UU KPK pertama kali terjadi pada Oktober 2015 lalu. Namun pembahasan ditunda lantaran pemerintah fokus untuk membenahi sektor ekonomi.
Satu bulan kemudian, revisi UU KPK diubah menjadi inisiatif DPR dan dimasukkan program legislasi nasional.
Setelah sempat menuai polemik, Presiden dan Ketua DPR saat itu, Ade Komaruddin, kembali memutuskan untuk menunda pembahasan revisi.
Akan tetapi, revisi UU KPK tidak dihapus dalam prolegnas. Kini, wacana revisi UU KPK kembali mencuat menyusul pengusutan kasus e-KTP.
Selain itu, Agus menambahkan, munculnya sejumlah nama besar tokoh partai politik di dalam surat dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum KPK saat sidang pertama, juga menjadi ancaman tersendiri di dalam proses pengusutan kasus e-KTP.
Anggaran besar yang mencapai Rp 5,9 triliun untuk pengadaan proyek tersebut, kata dia, rawan mengalir ke kas parpol.
Ia meragukan, ada keterlibatan partai politik di dalam proses penyusunan anggaran.
“Dalam catatan saya sekitar tujuh partai yang terima ‘jatah’ e-KTP. Tidak menutup kemungkinan. Apa yang disampaikan Nazarudin jangan-jangan benar ada aliran yang masuk tokoh parpol,” kata dia.