Nasional
ICW Sebut DPR Masih Cari Cara Melemahkan KPK
Setelah kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP yang diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai masuk ke persidangan, terkuak beberapa nama terkait kasus ini. Termasuk Ketua DPR, Setya Novanto, dan beberapa politisi Senayan lainnya.
Belakangan, setelah beberapa politisi diminta bersaksi dalam persidangan, Komisi III DPR memanggil KPK. Bahkan timbul wacana untuk menggulirkan hak angket kepada KPK. Pasalnya, rekaman pemeriksaan saksi kasus e-KTP yang diminta DPR, enggan diserahkan KPK.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho, menilai tindakan DPR selama ini memang hanya bertujuan untuk memperlemah KPK. Upaya pelemahkan KPK, disebut Emerson, sudah dilakukan dari berbagai aspek.
“DPR pernah menolak sejumlah usulan anggaran yang diajukan oleh KPK Padahal anggaran yang diusulkan dimaksudkan untuk optimalisasi upaya pemberantasan korupsi,” kata Emerson berdasarkan pernyataan tertulis.
Berikut pernyataan lenngkap Emerson perihal upaya pelemahan KPK oleh DPR :
8 UPAYA POLITISI SENAYAN YANG BERPOTENSI MELEMAHKAN KPK
1. Mendorong Wacana pembubaran KPK
Sejumlah anggota DPR pernah mewacanakan atau memberikan pernyataan tentang pembubaran KPK. Salah satunya yang dinilai paling bersemangat adalah Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.
2. Mendorong Wacana KPK sebagai lembaga Adhoc
Tahun 2011, Ketua DPR RI Marzuki Alie pernah menyebutkan KPK sebagai lembaga ad hoc (bersifat sementara). Wacana KPK sebagai lembaga ad hoc juga muncul dalam Revisi UU KPK tahun 2016 yang menyebutkan usia KPK hanya sampai 12 tahun mendatang.
3. Penolakan Anggaran yang diusulkan KPK
DPR pernah menolak sejumlah usulan anggaran yang diajukan oleh KPK Padahal anggaran yang diusulkan dimaksudkan untuk optimalisasi upaya pemberantasan korupsi. Tahun 2008, DPR menolak anggaran sebesar Rp 90 Miliar untuk pembangunan rumah tahanan yang dikelola sendiri oleh KPK. Tahun 2012, usulan dana sebesar Rp 250 miliar untuk pembangunan gedung baru KPK juga ditolak. Akibat penolakan ini muncul gerakan publik, “Koin untuk KPK” atau “Saweran untuk gedung KPK”.
4. Berupaya melemahkan KPK melalui Proses Legislasi (Revisi UU KPK. RUU KUHAP, RUU KUHP)
Sejak 2011 sejumlah Partai Politik di DPR berulang kali berupaya melakukan Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (Revisi UU KPK). Terakhir rencana Revisi UU KPK 2016, berhasil digagalkan karena munculnya sejumlah penolakan dari berbagai kalangan. Subtasni dalam Revisi UU KPK dinilai melemahkan KPK. Selain Revisi UU KPK, upaya pelemahan terhadap KPK juga coba dilakukan melalui pembahasan Revisi UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R KUHP) dan Revisi UU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (R KUHAP).
5. Dugaan Intervensi atau menghalangi dalam proses penyidikan dan penuntutan kasus yang ditangani KPK
Tahun 2011, Wakil Ketua KPK Mochammad Jasin mengakui unsur pimpinan memang sering kali mendapatkan intervensi dari anggota DPR saat menangani sejumlah kasus korupsi. Dia menyebutkan, intervensi tersebut lewat sambungan telepon atau dalam pembahasan saat rapat dengar pendapat (RDP) DPR. Tahun 2012, sejumlah Anggota Komisi III mencoba intervensi untuk menggagalkan pemindahan persidangan Walikota Semarang Soemarmo dari Pengadilan Tipikor Semarang ke Pengadilan Tipikor Jakarta. Pimpinan MA mengaku diminta oleh Komisi III DPR untuk membatalkan surat keputusan pemindahan sidang Wali Kota Semarang nonaktif, Soemarmo HS. Namun, Ketua MA Hatta Ali bersikukuh menolak merevisi SK tersebut. Pada tahun 2016 Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dinilai berupaya menghalangi penggeledahan yang dilakukan KPK di Ruang Fraksi PKS di DPR. Meski sempat terjadi perdebatan, proses pengeledahan akhirnya tetap dilaksanakan,
6. Upaya menolak calon Pimpinan KPK yang diusulkan Pemerintah
Tahun 2011 dan 2015, DPR pernah berupaya menolak calon pimpinan KPK yang diusulkan oleh Pemerintah. Tahun 2011, Lima dari sembilan fraksi DPR menolak delapan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang diajukan pemerintah, dalam rapat Komisi Hukum DPR dengan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar. Kelima fraksi itu; Fraksi Partai Golkar, PDI Perjuangan, Hanura, Gerindra, dan Partai Keadilan Sejahtera; tetap meminta pemerintah menyerahkan sepuluh nama calon pimpinan KPK ke DPR. Tahun 2015, sempat muncul wacana penolakan terhadap calon pimpinan KPK yang diusulkan pemerintah meskipun akhirnya kemudian dibatalkan dan proses pemilihan tetap berlangsung. Selain penolakan tahun 2014, DPR juga pernah menunda proses uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon pimpinan KPK Busyro Muqodas dan Robby Arya Brata.
7. Pengajuan Nota Keberatan terhadap Pencekalan Ketua DPR
April 2017, KPK mengeluarkan surat pencekalan terhadap Setya terkait kasus korupsi e-KTP . Pencegahan Setya keluar negeri selama 6 bulan karena politikus Partai Golkar tersebut merupakan saksi kunci Andi Narogong. Setelah Setnov dicekal, Pimpinan DPR melaksanakan rapat dengan Badan Musyawarah DPR, dan DPR akhirnya mengirimkan nota keberatan kepada Jokowi.
8. Pengajuan Hak Angket DPR
April 2017, Komisi III DPR berupaya mengajukan hak angket terhadap KPK agar membuka rekaman pemeriksaan anggota DPR dari Fraksi Partai Hanura Miryam, dalam kasus dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik. Sedikitnya sudah ada 7 fraksi yang menyatakan setuju digulirkannya Hak Angket ini.