Nasional

Hukuman Bagi Para Pelaku Koruptor Makin Ringan ?

Upaya memberi efek jera bagi koruptor tampaknya masih jauh panggang dari api. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun lalu membeberkan, rata-rata hukuman penjara terhadap 573 putusan sidang kasus korupsi dijatuhkan dengan cukup ringan. Bahkan, di tingkat pertama atau pengadilan negeri (PN), rata-rata vonis hanya 1 tahun 11 bulan kurungan penjara.

Putusan ringan hampir terjadi di sebagian besar pengadilan. Mulai Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, sampai Papua. Selain di tingkat pertama, hukuman ringan juga terjadi di mayoritas sidang banding di pengadilan tinggi (PT). Yakni, 2 tahun 6 bulan penjara. Begitu pula di tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA), vonis kasus korupsi rata-rata 4 tahun 1 bulan.

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Tama S Langkun mengatakan, persentase putusan ringan perkara korupsi sepanjang 2016 paling tinggi terjadi di tingkat pertama (PN). Yakni, 76 persen di antara 420 putusan. Sementara di tingkat banding sebanyak 60 persen (dari 121 putusan) dan 45 persen (dari 32 putusan) di MA.

Tama mengatakan, kategori ringan itu didasarkan pada pertimbangan bahwa hukuman minimal penjara di pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor adalah 4 tahun penjara. Dengan demikian, vonis 1 tahun 11 bulan di mayoritas PN, itu bisa juga disebut sangat ringan. “Kalau vonis berat di atas 10 tahun,” ujarnya, kemarin (5/3). Tren itu cenderung sama selama tiga tahun terakhir.

Menurut Tama, vonis ringan yang masih mendominasi putusan pengadilan selama tiga tahun terakhir, itu patut menjadi perhatian pihak terkait. Terutama jaksa penuntut umum (JPU). Kata dia, vonis ringan tak terlepas dari tuntutan jaksa yang diajukan dalam persidangan. Jaksa bisa dibilang gagal memformulasikan hukuman yang tepat bagi terdakwa. “Jaksa cenderung menuntut terdakwa secara ringan, baik pidana penjara maupun pidana denda, tidak disertai dengan kewajiban uang pengganti,” ungkapnya.

Pantauan ICW, jaksa juga kurang ngotot menuntut pencabutan hak politik terdakwa berlatar belakang politisi. “Jaksa seolah tidak memiliki keberpihakan terhadap pemberantasan korupsi,” terangnya.

ICW menilai, minimnya upaya pencabutan hak politik terdakwa kasus korupsi merupakan cermin bila jaksa minim melakukan inovasi dalam penuntutan. Catatan ICW, tahun lalu hanya ada 7 putusan di antara 573 putusan yang memvonis terdakwa dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik. “Jumlah itu sangat kecil,” terang Tama.

Selain jaksa, pihak MA semestinya juga berbenah. Setidaknya dengan mengeluarkan aturan berupa surat edaran MA (SEMA) atau peraturan MA (perma) yang mewajibkan hakim tipikor menjatuhkan vonis lebih berat. Hakim juga harus memaksimalkan pidana pokok dan pidana tambahan. Seperti denda, uang pengganti, pencabutan hak politik, dana pensiun atau penghapusan status kepegawaian koruptor, serta menghapus hak mendapatkan remisi terdakwa yang bukan justice collaborator (JC) atau whistle blower. “Pemerintah juga harus segera mengusulkan perubahan UU Tipikor yang telah usang dan memiliki celah hukum,” imbuhnya.

Tama menambahkan, persoalan vonis ringan perkara korupsi juga harus menjadi perhatian berbagai stakeholder. Selain MA dan kejaksaan, kepolisian serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mesti duduk bersama untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh proses ajudikasi perkara korupsi. “Jika tidak segera evaluasi, eksistensi Pengadilan Tipikor menjadi tidak berarti,” tandasnya.

Sementara itu, pihak terkait belum bisa dikonfirmasi terkait pantauan ICW itu. Pihak MA dan kejaksaan belum memberikan komentar meski sudah dihubungi.

To Top