Wakil Ketua DPR Fadli Zon angkat bicara mengenai survei TII yang menempatkan DPR RI sebagai lembaga terkorup.
Fadli mengaku belum mengetahui cara survei itu dilakukan.
“Saya belum lihat juga sejauh mana bagaimana dia melakukan survei apakah dia hanya melalui berita-berita yang ada dimedia atau memang melakukan satu proses investigasi sampai sistem dan mekanisme yang ada di dalam lembaga-lembaga tersebut,” kata Fadli Zon di Gedung DPR, Jakarta.
Fadli mengatakan potensi terbesar korupsi berada di eksekutif.
Sebab, lembaga tersebut memiliki hak penggunaan anggaran. Sedangkan, DPR tidak lagi mengikuti proses anggaran di satuan tiga.
Politikus Gerindra itu menuturkan DPR hanya memberikan kuasa kepada pemerintah sebagai pengguna anggaran.
DPR, kata Fadli, tidak mengetahui penggunaan anggaran pemerintah secara detil.
“Potensi terbesar adalah di lembaga yang memiliki anggaran yang besar yaitu di eskekutif bukan legislatif,” kata Fadli.
Sebelumnya ,Transparency International kembali meluncurkan Global Corruption Barometer (GCB).
GCB merupakan potret kinerja pemberantasan korupsi berdasarkan persepsi dan pengalaman masyarakat di masing-masing negara.
Hasil GCB 2017 menunjukkan anggota legislatif di seluruh Asia Pasifik perlu memperjuangkan keberpihakan terhadap whistleblower; Pemerintah harus menepati janji untuk memberantas korupsi, termasuk komitmen untuk memenuhi Sustainable Development Goals (SDGs)/ Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB).
Mengakhiri korupsi akan mendorong terwujudnya tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Jutaan orang di Indonesia dapat keluar dari lingkaran kemiskinan jika uang yang hilang akibat korupsi diinvestasikan dalam pembangunan berkelanjutan.
Itu sebabnya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-16 (SDGs Goal 16) memfokuskan pada terciptanya keadilan, menghentikan illicit financial flows, mengakhiri suap dan korupsi.
“Dalam konteks Indonesia, korupsi masih meningkat, dengan lembaga-lembaga pemerintahan seperti DPR, DPRD, birokrasi, sektor pajak dan polisi dipersepsikan sebagai lembaga yang korup.” ungkap Dadang Trisasongko, Sekretaris Jenderal Transparency Internasional Indonesia.
Survei GCB 2017 dilakukan selama Juli 2015 sampai Januari 2017. Transparency International melakukan survei kepada hampir 22.000 responden rumah tangga (≥ 18 tahun) di 16 negara Asia Pasifik.
Survei dilakukan dengan metode wawancara tatap muka dan/atau telepon.
Di Indonesia, survei dilakukan terhadap 1000 responden yang tersebar secara proporsional di 31 provinsi.
Responden diwawancara pada medio 26 April – 27 Juni 2016 dengan batasan pada pengalaman dan pengetahuan dalam kurun waktu 12 bulan terakhir.
Hasil dari GCB 2017 memberikan gambaran bahwa korupsi masih terjadi dalam sektor layanan publik yang diselenggarakan negara.
Ketika berinteraksi dengan layanan publik, lebih dari sepertiga masyarakat harus membayar suap.
Polisi adalah layanan publik dengan suap tertinggi, diikuti dengan sektor administrasi dan kependudukan.
Dibandingkan dengan negara-negara Asia Pasifik lainnya, masyarakat di Indonesia paling positif menilai upaya pemerintah melawan korupsi.
Lebih dari setengah responden mengatakan pemerintah bekerja lebih baik untuk memberantas korupsi.
Selama tiga tahun terakhir, pengalaman masyarakat dengan layanan publik menunjukkan perbaikan.
“Pemerintah harus lebih serius membangun tata kelola yang tidak rentan korupsi, serta memastikan masyarakat dapat aktif mengawasi,” kata Dadang Trisasongko.
Namun tidak demikian dengan lembaga legislatif baik di tingkat pusat maupun daerah.
Tingkat korupsi di lembaga legislatif masih dinilai tinggi, Dadang mengatakan penilaian ini konsisten menempatkan legislatif sebagai lembaga paling korup, setidaknya selama tiga tahun terakhir.