Sidang perdana kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP telah dimulai, Kamis (09/03). Dari nama-nama ‘besar’ yang disebut menerima duit korupsi, hingga larangan televisi untuk menyiarkan sidang secara langsung, inilah sejumlah hal yang perlu Anda ketahui terkait kasus ini.
Apa yang dikorupsi?
Proyek Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik atau yang biasa disebut e-KTP dimulai Kementerian Dalam Negeri sebagai pelaksana, pada tahun 2011-2012. Anggaran untuk proyek ini mencapai Rp5,9 triliun. Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui juru bicaranya Febri Diyansyah menyebut ada kejanggalan pada “tahapan (awal) pembahasan anggaran”. Pada September 2012, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga menangkap adanya kejanggalan dalam proses tender.
Kala itu tender pengadaan e-KTP dimenangkan konsorsium PT Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI). Konsorsium ini terdiri dari Perum PNRI, PT Sucofindo, PT Sandhipala Arthapura, PT Len Industri, dan PT Quadra Solution sebagai penyedia perangkat keras dan perangkat lunak.
KPK menduga ada aliran dana dari pemenang tender tersebut ke sejumlah pihak, termasuk wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sendiri telah mendakwa dua orang; mantan Dirjen Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Irman dan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Sugiharto.
Dalam persidangan Kamis (09/03) Irman disebut jaksa telah mengarahkan Sugiharto untuk membuat spesifikasi teknis pembuatan e-KTP yang mengarah ke produk tertentu, dengan secara langsung menyebut merek.
Angka-angka ‘mencengangkan‘
KPK telah menyelidiki kasus dugaan korupsi proyek e-KTP ini sejak pertengahan 2014. Selama hampir tiga tahun, lembaga tersebut telah memeriksa 294 saksi, menetapkan dua tersangka dan menyita Rp247 miliar.
Yang menarik pada persidangan pertama adalah untuk dakwaan terhadap Irman dan Sugiharto, jaksa KPK menyiapkan surat dakwaan setebal 24.000 lembar. Tingginya hampir 2,5 meter. Namun untuk persidangan, dakwaan dipersingkat menjadi 121 halaman.
Selain dua terdakwa, KPK juga telah memeriksa 19 politikus yang menjabat sebagai wakil rakyat di DPR pada 2011-2012. Di antaranya Chairuman Harahap yang kala itu menjabat ketua komisi II (komisi pemerintahan DPR) dan Setya Novanto, yang saat itu menduduki posisi ketua fraksi Partai Golkar.
Dan yang paling ‘mencengangkan’ dalam kasus ini adalah berapa jumlah dana yang diduga dikorupsi. Dari nilai proyek Rp5,9 triliun, KPK menyebut dana yang dikorupsi mencapai Rp2,3 triliun.
Jumlah fantastis itu menuai reaksi negatif dari media sosial. Di antaranya Mohamad Sjohirin, yang lewat akunnya @Msjohirin mencuit, “uang korupsi e-KTP bisa membangun ribuan sekolah atau rusun. Kenapa tidak ada yang demo atau hujat?”
‘Korupsi terbesar’
Tidak bisa ditampik, taksiran kerugian negara sebesar Rp2,3 triliun, bukanlah nilai kecil. Jika dibandingkan dengan sejumlah kasus korupsi yang sedang atau telah ditangani KPK, dugaan korupsi e-KTP bahkan mengakibatkan potensi kerugian negara terbesar.
Kasus dugaan korupsi pembangunan pusat olahraga Hambalang di Bogor Jawa Barat senilai Rp1,2 triliun, disebut KPK mengakibatkan kerugian negara Rp706 miliar.
Sementara kasus dugaan korupsi pengadaan simulator surat izin mengemudi (SIM) di Korps Lalu Lintas Polri dan perkara korupsi komunikasi radio terpadu di Kementerian Kehutanan, berturut-turut mengakibatkan kerugian negara Rp121 miliar dan Rp89,3 miliar.
Nama-nama terkenal
Mulai dari Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, yang saat itu menjabat anggota Komisi II DPR, hingga Menkumham Yasonna Laoly, yang dulu juga duduk di komisi sama, disebut-sebut ikut menerima suap dalam kasus dugaan korupsi e-KTP ini.
Dugaan keterlibatan itu menjadi lebih terang setelah jaksa KPK, pada sidang Kamis (09/03), mengumumkan nama-nama yang diduga menerima aliran dana korupsi. Baik Ganjar maupun Yasonna termasuk di dalamnya.
Ganjar disebut menerima US$520.000 atau Rp7 miliar. Sementara Yasonna ditulis menerima US$84.000 atau Rp1,1 miliar. Menteri Dalam Negeri kala itu, Gamawan Fauzi, ditulis menerima lebih US$4,5 juta atau lebih Rp60 miliar.
Kebanyakan nama yang disebut Jaksa adalah politisi DPR; mantan ketua DPR Marzuki Ali Rp20 miliar, Anas Urbaningrum US$5,5 juta (Rp74 miliar), Teguh Djuwarno US$167.000 (Rp2,2 miliar), Arief Wibowo US$108.000 (Rp1,4 miliar).
Bahkan ketua DPR Setya Novanto (saat itu adalah ketua fraksi Golkar) bersama Andi Agustinus alias Andi Narogong, pengusaha rekanan Kementerian Dalam Negeri, menerima salah satu ‘bagian’ terbesar yaitu Rp574 miliar.
Setya Novanto, Ganjar Pranowo dan Yasonna Laoly, secara terpisah telah membantah tudingan itu.
Ahok terlibat?
Salah satu nama yang kerap disebut terlibat kasus ini adalah calon gubernur DKI Jakarta petahana, Basuki Tjahaja Purnama. Pada periode 2011-2012 Ahok adalah anggota komisi II DPR dari partai Golkar.
Kepada wartawan di Balai Kota DKI Jakarta, Ahok membantah tuduhan tersebut. Dia menegaskan bahwa dirinya adalah sosok paling keras menentang proyek pengandaan e-KTP.
“Saya paling keras menolak E-KTP. Saya bilang pakai saja bank pembangunan daerah, semua orang mau bikin KTP pasti ada rekamannya kok. Ngapain habisin Rp5 trilun sampai Rp 6 triliun?” kata Ahok, Senin (06/03).
Ahok mengklaim tidak tahu menahu terkait daftar pembagian uang pengadaan e-KTP yang beredar.
“Itu cuma daftar penerima (fee) e-KTP atau daftar (anggota) Komisi 2? Masuk daftar itu kan bisa saja orang mau bagiin (uang) lalu bikin daftar begitu, (tapi) kita terima apa enggak (itu hal lain),” tutur Ahok.
Dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa KPK pada sidang Kamis (09/03), nama Ahok tidak ada dalam daftar penerima dana korupsi.
Dampaknya jengkelkan netizen
Lambatnya pembuatan e-KTP adalah salah satu dampak dari ‘megakorupsi’ ini.
Tercatat target yang dipatok pemerintah, yaitu 172 juta e-KTP pada akhir 2012, tidak tercapai. Hingga awal 2013, masih ada 34 juta masyarakat yang belum memiliki KTP elektronik.
Netizen Zarry Hendrik di Twitter mencuit, “e-KTP kagak jadi-jadi. Kalo pelayanan kacrut gini, ya pasti ada apa-apa nih.”
Dan dampaknya masih terasa hingga sekarang. Lamanya pembuatan e-KTP membuat warga kesulitan menjalankan haknya, termasuk untuk memberikan suara pada Pilkada lalu.
Dua hari menjelang Pilkada 15 Februari, Tresya, warga Jakarta asal Papua, mengeluh karena harus meminta surat keterangan ke Kelurahan agar dapat mencoblos, karena e-KTPnya belum selesai-selesai.
“Saya sudah buat (e-KTP) sejak delapan bulan lalu, tapi belum selesai sampai sekarang, belum ada blanko katanya.”
Larangan siaran langsung
Seperti sidang kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Ahok, pengadilan negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) memutuskan sidang dugaan korupsi e-KTP juga melarang persidangan disiarkan secara langsung dari ruang sidang.
“Ini karena berkaca pada persidangan kasus lain,” ungkap Kepala Humas PN Jakpus Yohanes Priyana.
Keputusan PN Jakpus, yang membawahi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi itu, dikrtitik Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Ketua Umum AJI Suwarjono mengungkapkan tidak ada alasan untuk melarang siaran langsung kasus e-KTP. Menurutnya, ada perbedaan antara kasus e-KTP dengan sidang kasus penodaan agama yang menyeret Ahok.
Dalam kasus e-KTP, “Tidak ada sensitivitas dan ancaman nyata terhadap keberagaman dan ketertiban sosial, jika disiarkan secara langsung.”