Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja melakukan gebrakan. Bancakan uang negara lewat proyek kartu tanda penduduk elektronik alias e-KTP dibeber di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor).
Dua orang duduk di kursi pesakitan: mantan Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Irman serta anak buahnya, Sugiharto.
Tentu bukan hanya dua nama itu yang bakal dimintai pertanggungjawaban. Dalam surat dakwaan disebutkan, ada 37 anggota DPR yang diduga terlibat. Bahkan, ada nama-nama yang saat ini menjadi petinggi partai politik, kepala daerah, dan menteri. Meski kita tidak tahu kapan mereka menyusul. Dan apakah mereka bakal benar-benar menyusul.
Publik memahami, bukan pekerjaan mudah menuntaskan kasus yang diduga merugikan uang negara hingga Rp 2,3 triliun itu. Untuk mendudukkan Irman dan Sugiharto saja, komisi antirasuah tersebut butuh waktu hampir tiga tahun.
Bagi-bagi uang proyek tentu jauh berbeda dengan transaksi jual beli atau penyetoran dana perbankan. Tidak ada kuitansi atau bukti setor. Para penilap yang memang berniat menggarong duit negara sudah pasti tidak ingin meninggalkan jejak. Karena itu, salah satu yang akan digunakan KPK untuk mengembangkan pengusutan kasus adalah putusan perkara yang telah disidangkan.
Nah, menunggu putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) tentu butuh waktu. Sembari menunggu, publik perlu terus mendorong KPK agar tidak berhenti menyidik. Bahkan, kalau memang ada keterlibatan partai politik, KPK perlu bertindak. Panggil nama-nama yang telah disebut dalam surat dakwaan. Adanya 14 anggota DPR yang telah mengembalikan uang total Rp 30 miliar menjadi bukti bahwa bancakan tersebut memang ada.
Ingat, bagi-bagi uang semacam itu pernah terjadi dalam perkara penerimaan cek perjalanan (travelers check) pemilihan deputi gubernur senior Bank Indonesia. Kala itu belasan anggota DPR ditahan KPK. Jadi, kita menunggu langkah taktis penyidik dalam kasus e-KTP kali ini.
Dukungan perlu terus disuarakan. Terlebih, inilah kasus megakorupsi pertama yang berhasil dibawa ke meja hijau oleh KPK era kepemimpinan Agus Rahardjo. Berikan juga kekuatan kepada KPK untuk menuntaskan kasus-kasus grand corruption lain. Sebut saja kasus Bank Century dan kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Yang juga perlu diwaspadai publik adalah kemungkinan adanya serangan balik terhadap KPK. Cepat atau lambat, isu revisi Undang-Undang (UU) KPK pasti akan digulirkan lagi. Tujuannya tidak lain ialah melemahkan KPK. Maka, barisan perlu dirapatkan. Jangan sampai lembaga superbodi itu kehilangan taji. Mereka yang menginginkan negeri ini bebas dari korupsi harus berdiri di belakang KPK.