PUBLIK sedang menyoroti langkah Polda Metro Jaya yang main tangkap terhadap sejumlah aktivis yang dituduh hendak melakukan makar. Bukan kebetulan kalau penangkapan dilakukan pada dua momen, yaitu menjelang Aksi Bela Islam (ABI) 212 dan ABI 313. Sri Bintang Pamungkas dkk ditangkap sebelum ABI 212 dan Muhammad Al Khaththath cs diamankan sebelum ABI 313.
Ada kesamaan tuduhan pada penangkapan para aktivis nasionalis dan aktivis Islamis tersebut, yakni hendak menduduki gedung DPR dan MPR untuk menggulingkan pemerintahan. Pada kasus Al Khaththath ada keterangan yang dramatis: akan masuk ke gedung DPR lewat gorong-gorong.
Betulkah tuduhan makar itu? Para pakar hukum dan politik mengungkapkan pendapat dan penilaiannya. Pakar hukum mengupas pengertian makar yang ada di pasal-pasal KUHP. Pakar politik membahas tentang kewenangan dan netralitas Polri sebagai alat negara.
Dari berbagai pendapat itu, benang merahnya sudah cukup jelas. Berbagai penangkapan tersebut sebenarnya hanya untuk membungkam aktivis menjelang dua aksi demonstrasi di Jakarta. Pada akhirnya Polri sendiri kesulitan membuktikan tuduhannya.
Sri Bintang, Rachmawati Soekarnoputri, Kivlan Zein, Ratna Sarumpaet, Ahmad Dhani, dan lima aktivis lain yang diperiksa atau ditahan pada periode pertama hingga sekarang tidak jelas statusnya. Kasus tidak berlanjut dan nama mereka juga tidak direhabilitasi. Adapun Al Khaththath bersama empat orang lain masih ditahan di Mako Brimob Depok. Pasal makar biasa dipakai polisi untuk meringkus dan membungkam orang-orang yang kritis terhadap pemerintah.
Termasuk juga orangorang di lingkungan Polri sendiri. Seperti yang dialami Bambang Widodo Umar pada 2001 bersama tujuh perwira menengah Polri lainnya. Bambang yang kini pengamat kepolisian, juga seperti tertuduh makar yang lain, tidak terbukti makar dan tidak dikembalikan nama baiknya.
Ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra memastikan, polisi akan selalu kesulitan membuktikan tuduhan makar terhadap para aktivis itu. Karena memang tidak mudah menemukan bukti makar sebagaimana yang dimaksud dalam KUHP. Mereka akan kesulitan merujuk pasal mana yang dimaksud.
Jaminan Konstitusi
Reformasi telah memagari pemerintahan yang sah dari ancaman makar. Konstitusi telah diamendemen untuk mencegah rongrongan terhadap pemerintah. Pemakzulan terhadap presiden harus melalui prosedur yang tidak mudah. Ancaman orang-orang atau kelompok bersenjata sudah dicegah melalui Undang- Undang Antiterorisme.
Jika orang-orang yang berbeda pendapat dan bersikap kritis terhadap pemerintah juga diberangus, patut dipertanyakan, masihkah Indonesia layak disebut negara demokrasi ketiga terbesar di dunia?
Konstitusi kita sudah cukup jelas menjamin kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul. Kita juga sudah punya Undang-Undang HAM yang sangat menghargai hak untuk hidup, hak untuk berpendapat, hak untuk dijamin keamanannya, hak untuk sejahtera lahir dan batin. Pemerintahan yang konstitusional justru harus menjalankan amanat undang-undang ini.
Lalu kenapa Polri terkesan arogan dan sewenang-wenang dalam menyikapi dinamika politik di Jakarta?
Kesan umum ini sangat krusial bagi Polri yang selalu dituntut untuk mereformasi diri. Polri harus menjadi alat negara yang bisa dipercaya, adil, dan profesional.
Pilkada DKI Jakarta menjadi tolok ukur demokrasi di Indonesia. Menurut Siti Zuhro, pilkada ini sudah ternodai oleh calon gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang berstatus terdakwa penodaan agama. Orang pun melihat ketidakadilan ketika Ahok tidak ditahan dan masih menjabat gubernur, sementara orang-orang yang menuntut penegakan hukum terhadap Ahok malah ditangkapi.
Polri dapat ikut berperan mencegah pemerintahan Joko Widodo menjadi rezim yang antidemokrasi. Cukup 65 orang aktivis yang dikriminalisasi, tidak perlu ditambah, agar demokrasi di negeri ini tidak rusak. Risih membaca media asing menyoroti perilaku demokrasi kita.