Akhir-akhir ini tindakan persekusi makin ramai dilakukan sekelompok warga terhadap orang yang dianggap telah menghina atau menista pemimpin dan kelompoknya.
Bahkan, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat, sejak 27 Januari hingga 31 Mei 2017 persekusi terus meningkat. Sejauh ini, jumlah korban kasus persekusi telah mencapai 59 orang.
“Mei paling tinggi kasus persekusi. Aksi ini semakin meluas,” jelas Koordinator Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto.
Damar mengatakan, tindakan memburu dan mengintimidasi atau persekusi tersebut sangat mengancam kebebasan berpendapat dan demokrasi di Indonesia.
Selain itu, kata dia, persekusi merupakan tindakan yang tidak manusiawi dengan tujuan menimbulkan penderitaan psikis dan fisik.
Kekhawatiran lainnya, persekusi menjadi tindakan yang sistematis dan meluas.
“Persekusi jelas mengancam demokrasi. Karena sekelompok orang mengambil alih negara untuk menetapkan seseorang bersalah, dan menghukum tanpa melalui proses hukum,” tutur Damar.
Menurut Damar, masalah persekusi tidak bisa dianggap enteng. Jika dibiarkan, dapat semakin menebarkan ketakutan dan menjadi teror di masyarakat.
Dia juga menegaskan, persekusi dapat melumpuhkan fungsi masyarakat sebagai ruang untuk saling berbicara. Terlebih, perbedaan pendapat merupakan hal wajar dan harusnya dapat disikapi secara bijaksana dan dewasa.
Persekusi atau The Ahok Effect ini muncul sejak dipidanakannya Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok ke pengadilan dengan pasal penodaan agama.
Korban Persekusi
Kasus-kasus ini sudah menyebar luas secara merata di seluruh Indonesia dan menarget orang-orang dari berbagai latar belakang. Salah satu yang ramai dibicarakan adalah seorang dokter bernama Fiera Lovita di Solok, Sumatera Barat.
Dokter Fiera Lovita mendapat intimidasi dari orang tak dikenal setelah mengunggah status di Facebook yang berkaitan dengan Rizieq Shihab, pemimpin Front Pembela Islam (FPI).
Berbagai intimidasi didapatnya dari orang-orang yang mengaku anggota FPI. Hingga akhirnya, dia meninggalkan Solok.
Selain Fiera, seorang remaja berinisial PMA juga menjadi korban persekusi. Remaja itu bahkan dibawa ke pos RW setempat untuk diintimidasi.
PMA tidak hanya mengalami kekerasan fisik saat diinterogasi di pos RW tersebut. Remaja 15 tahun itu juga sempat dipukuli oleh sekelompok orang saat pertama kali dijemput paksa dari rumahnya.
Persekusi terhadap PMA terjadi pada 28 Mei 2017. Aksi ini diduga dipicu perbuatan PMA yang dianggap menghina Front Pembela Islam (FPI) dan pemimpinnya, Rizieq Shihab, melalui media sosial.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, telah menyiapkan rumah aman (safe house) untuk korban persekusi, PMA, dan keluarganya, jika Polda Metro Jaya merujuknya ke Kementerian Sosial.
Kementerian Sosial memiliki beberapa safe house yang bisa digunakan oleh PMA dan keluarganya. Khofifah menjamin opsi tempat tersebut aman dan nyaman untuk ditempati.
Kemensos telah menyiapkan tim layanan dukungan psikososial guna memberikan trauma healing dan trauma konseling, terutama bagi PMA yang mengalami persekusi seperti kekerasan fisik dan verbal secara langsung.
“Kapan pun diminta kami siap, namun sebelumnya ada proses assessment terhadap PMA,” imbuh Khofifah.
Persekusi di Media Sosial Makin Berkembang
Damar juga mengungkap adanya persekusi gaya baru yang dilakukan di media sosial. Ada sejumlah tahapan yang dilakukan pelaku persekusi. Pertama adalah penentuan target operasi yang dilakukan dengan mengumumkan di media sosial, yang kemudian dilaporkan.
“Caranya dengan men-screenshot posting-an target yang dianggap menistakan Islam dan ulama. Kemudian mereka ada database buronan umat Islam. Mereka dapat melapor dengan mengirim ke Muslim Cyber Army dengan e-mail Mca@gmail.com,” kata dia.
Kemudian tahap kedua, kata Damar, adalah seruan untuk memburu target yang dianggap menistakan dan menghina ulama. Salah satunya dengan membuat ajakan aksi bela Islam seperti di Karawang, Jawa Barat, dengan seruan menangkap dan penjarakan Aking penista agama.
“Aking dianggap menistakan yang dalam posting-annya beropini, bahwa PKI juga ada di pemuka agama,” ujar dia.
Ketiga, Damar melanjutkan, pelaku persekusi akan melakukan intimidasi dan memaksa target untuk menuliskan permohonan maaf, dengan dibubuhi materai Rp 6 ribu. Surat itu juga wajib dibacakan dan langsung didokumentasikan melalui video dan foto melalui media sosial.
“Tidak selesai di situ, nanti diviralkan kembali ke sosial media. Seperti Indri Soraya di Tangerang dan yang terbaru anak usia 15 tahun Putra Mario Afian di Cipinang Muara,” kata dia.
Terakhir, Damar menambahkan, target persekusi akan dibawa ke kepolisian untuk diperkarakan secara hukum, dengan dilaporkan sebagai tersangka dengan Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang ITE dan atau Pasal 156a KUHP. “Meminta dilakukan penahanan,” Damar menandaskan.
Ayo Lawan Persekusi
Presiden Joko Widodo menyerukan untuk menghentikan persekusi. Menurut Jokowi, persekusi adalah perbuatan yang berlawanan dengan asas-asas hukum negara.
“Sangat berlawanan dengan asas-asas hukum negara, jadi perorangan maupun kelompok-kelompok, maupun organisasi apa pun, tidak boleh main hakim sendiri, tidak boleh,” ucap Jokowi.
Terlebih lagi, kata dia, persekusi itu mengatasnamakan penegakan hukum. “Tidak ada, tidak boleh dan tidak ada. Kita bisa menjadi negara barbar kalau hal seperti ini dibiarkan,” kata Jokowi.
Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengingatkan, tindakan persekusi dilarang. Persekusi atau tindakan perburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga didasarkan atas upaya segelintir pihak untuk memburu dan menangkap seseorang yang diduga menghina ulama dan agama.
“Kan itu dilarang,” ucap Jusuf Kalla.
Dia meminta kepolisian untuk bertindak tegas bila ada persekusi.
Sementara, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise mengecam keras tindakan persekusi, yang dilakukan oleh oknum atau masyarakat dewasa terhadap anak di bawah umur.
Dia menegaskan, tindakan persekusi terhadap anak jelas melanggar dan menghilangkan hak anak yang seharusnya dilindungi dari segala bentuk intimidasi apalagi kekerasan.
“Hentikan segala bentuk kekerasan terhadap anak karena anak dilindungi negara. Jauhkan anak dari segala bentuk kekerasan, penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kurang baik dan dapat merendahkan derajat dan martabatnya. Siapa pun pelakunya perlu ditindak secara hukum,” kata Menteri Yohana.
Polisi pun telah bertindak tegas kepada pelaku persekusi. Tak tanggung-tanggung, Kapolri Jenderal Tito Karnavian bahkan mengancam pelaku persekusi dengan ancaman pasal penculikan.
“Tidak boleh melakukan langkah sendiri, melakukan hukum sendiri, misalnya mendatangi, menggeruduk, apalagi kemudian membawa orang, itu sama aja penculikan. Membawa orang dengan secara paksa tidak dikehendaki yang bersangkutan, itu adalah penculikan, bisa dikenakan pasal penculikan,” kata Tito.
“Kemudian memaksa orang dengan ancaman juga bisa kena (pasal) pengancaman. Apalagi kalo sampai ada melakukan kekerasan pemukulan, bisa kena pasal pemukulan,” sambung dia.
Dia menyampaikan, jika ada seseorang atau kelompok masyarakat merasa dirugikan melalui media sosial, maka bisa melaporkan hal tersebut kepada Polri dengan menggunakan UU ITE.
“Misalkan dengan UU ITE ya, kan ada saluran hukumnya, yaitu membuat laporan tentang UU ITE ini. Baru nanti kita ada proses hukum untuk diajukan kalau memang memenuhi unsur, tidak boleh melakukan langkah sendiri. Kita pasti akan bertindak,” ucap Tito.
Oleh karena itu, mantan Kapolda Metro Jaya ini menegaskan bahwa dia telah memerintahkan seluruh jajarannya untuk melakukan penindakan hukum terhadap masyarakat yang mau hakim sendiri, termasuk melakukan persekusi.
“Saya sudah memerintahkan kepada jajaran jangan takut proses hukum kalau sampai ada pelanggaran hukum, seperti yang di Jakarta Timur,” tegas Tito.
Polri sudah mengambil langkah-langkah mencegah persekusi. Selain itu, Polri juga akan terus melakukan pemonitoran melalui tim siber Polri.
“Kita sambil melakukan monitoring juga, monitoring di siber. Kami memiliki elemen-elemen untuk patroli internet,” ujar Tito.
Ancaman Hukuman Pelaku Persekusi
Kata ‘persekusi’ sering digunakan akhir-akhir ini. Apa sebetulnya makna persekusi?
Saat ini korban persekusi tengah menjadi perhatian polisi. Persekusi disorot lantaran perbuatan itu dapat meresahkan masyarakat.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), persekusi merupakan pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan persekusi menjadi atensi kepolisian. Tito juga telah memerintahkan jajarannya tidak gentar mengusut setiap kasus persekusi.
“Mengenai persekusi, saya perintahkan kepada seluruh jajaran kepolisian, kalau ada yang melakukan upaya itu, jangan takut. Saya akan tindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku,” ujar Tito, Kamis (1/5).
Sementara itu, Kabag Mitra Biro Penerangan Masyarakat (Penmas) Divisi Humas Polri Kombes Awi Setiyono mengatakan tindakan persekusi itu bisa diancam pidana. Awi menyebutkan setidaknya ada tiga pasal dalam KUHP yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku persekusi.
“Pelaku atau kelompok yang melakukan persekusi dapat dikenai pasal-pasal dalam KUHP, seperti pengancaman pasal 368, penganiayaan 351, pengeroyokan 170, dan lain-lain,” kata Awi dalam keterangannya, Kamis (1/6).
Pasal 368 KUHP mengatur tentang pemerasan dan pengancaman. Pasal 368 KUHP Ayat 1 berbunyi ‘Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan’.
Sedangkan Pasal 351 KUHP Ayat 1 berbunyi ‘Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah’.
Sementara itu, dalam Pasal 170 Ayat 1 disebutkan ‘Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan’.
Awi menegaskan, bila menemukan posting di media sosial yang dirasa meresahkan, masyarakat diminta tidak main hakim sendiri. Awi meminta masyarakat melaporkan ke polisi.
“Melaporkan ke polisi untuk dilakukan tindakan kepolisian, baik yang bersifat preventif maupun penegakan hukum. Tidak melakukan tindakan persekusi karena perbuatan tersebut dapat dipidana,” ucap Awi.