Nasional

Saling Serang di Dunia Maya

Debat pertama calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta yang telah dilaksanakan pada akhir pekan lalu, Jumat (13/1) masih menyisakan situasi yang cukup panas karena diwarnai saling serang antarpasangan calon.

Saling serang tersebut tak hanya terjadi di panggung debat Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta saja. Para pendukung juga aktif saling menyerang pasangan calon lain melalui akun media sosial, seperti Twitter, Path, dan Instagram.

Peperangan di jagat dunia maya itu tampaknya tidak akan berakhir. Setidaknya hingga Pemilihan Kepala Daerah 2017 pada 15 Februari.

Para netizen—sebutan bagi masyarakat dunia maya—terus memobilisasi kekuatan di media sosial dengan banjirnya konten berupa teks, meme, infografis, maupun video yang diamplifikasi para pendukung ketiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Mulai dari prestasi, jawaban para kandidat saat debat, gesture, hingga tampilan fisik para kandidat saat debat jadi perbincangan.

Lembaga Swadaya Masyarakat yang fokus pada percakapan politik di dunia maya, Politicawave mencatat dukungan netizen menunjang kemenangan di kompetisi politik. Pada Pilkada DKI 2012 lalu contohnya, saat pasangan Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok berhasil menarik dukungan masyarakat melalui dunia maya.

Saat itu, ada lebih dari 500.000 akun yang melakukan percakapan soal Jokowi-Ahok. Tidak aneh menurut Politicawave jika mereka kemudian, berdasarkan rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum Daerah DKI Jakarta, berhasil mengalahkan petahana Fauzi Bowo.

Netizen kembali unjuk gigi pada Pemilihan Presiden 2014. Kali ini Jokowi dengan Jusuf Kalla sempat diprediksi kalah oleh sejumlah lembaga survei. Akan tetapi, Politicawave berpendapat sebaliknya berdasarkan percakapan di dunia maya. Pada akhirnya Jokowi-JK berhasil unggul dari pasangan Prabowo dan Hatta Rajasa.

Berdasarkan dua peristiwa politik itu, Politicawave menyimpulkan bahwa kandidat yang paling banyak diperbincangkan dan mendapat sentimen negatif paling sedikit di dunia maya berkesempatan besar menjadi pemenang kontestasi pemilihan umum.

Dengan kondisi itu tidak aneh bila saat ini dunia maya menjadi satu medium yang ikut dipantau oleh KPU. Segala macam bentuk kampanye hitam di media sosial oleh akun resmi pasangan calon dapat dikenakan sanksi pemilu. Dari ketiga pasangan calon, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang paling banyak mendaftarkan akun resmi kampanye Pilkada DKI 2017.

Adapun sepanjang debat pada akhir pekan kemarin, Politicawave mencatat pasangan Ahok dan Djarot Saiful Hidayat paling banyak diperbincangkan di satu platform media sosial Twitter dengan 23.441 percakapan. Diikuti oleh Anies-Sandiaga dengan 17.715 percakapan dan Agus Yudhoyono dan Sylviana Murni dengan 4.112 percakapan.

 

POSITIF & NEGATIF

Meski berada di peringkat pertama paling banyak diperbincangkan, tetapi belum bisa menjamin Ahok-Djarot akan kembali diberikan amanah oleh penduduk DKI. Pasalnya, perbincangan tersebut terbelah antara yang bernada positif dan negatif.

Bahkan, dari enam segmen debat tersebut, Ahok-Djarot cenderung lebih banyak mendapatkan sentimen negatif ketimbang positif. Pasangan nomor urut satu, Agus-Sylvi yang paling sedikit diperbincangkan, memperoleh sentimen positif lebih banyak.

Sementara Anies-Sandiaga, mendapatkan tanggapan positif netizen hingga segmen keempat debat. Secara berurutan, pada segmen kelima dan keenam, Anies-Sandiaga hanya mendapatkan tanggapan positif 33% dan 12% dari percakapan tentang mereka di Twitter. Sebanyak 67% dan 88% adalah percakapan bernada negatif terhadap Anies-Sandiaga.

Jawaban Anies pada segmen kelima dan keenam menjadi satu penyebabnya. Netizen menganggap jawaban Anies lebih cocok sebagai pengajar yang kerap menyinggung pendidikan dan filosofi kehidupan.

Menurut pengajar bidang sosial politik Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun, peran media sosial bagi pasangan calon yang berlaga di kompetisi politik cukup penting.

Dia menyebut masyarakat di Indonesia, termasuk Jakarta sebagai liquid society atau kelompok sosial yang cukup cair dalam menerima informasi. Artinya, informasi yang berulang kali dipaparkan bisa jadi diterima sebagai pengetahuan, terlepas informasi tersebut benar atau tidak.

Kendati demikian, Ubedilah masih melihat partisipasi politik masyarakat melalui dunia maya belum sehat. Mereka cenderung memperdebatkan hal-hal yang tidak menjadi pokok persoalan.

Seperti yang terjadi pada debat pertama Pilgub DKI Jakarta kemarin, di mana para netizen kerap mengomentari tampilan fisik ataupun gesture para calon. “Belum partisipasi politik yang mendalam. Masyarakat belum banyak memperdebatkan program politik,” katanya.

Mengenai pengaruh media sosial terhadap elektabilitas pasangan calon dalam pemilu masih perlu dikaji. Sebab, pengguna aktif media sosial masih didominasi oleh masyarakat menengah ke atas. Sementara itu, masih ada pemilih menengah ke bawah yang tidak tersentuh oleh pengaruh media sosial.

Selain itu, pengguna media sosial terbagi ke dalam tiga jenis kelompok, yakni rasional, emosional, dan buzzer. Para pemilih rasional bisa jadi menerima informasi dan akan mempengaruhi pilihannya kelak. Sementara itu, kelompok emosional dan buzzer telah memiliki pilihan apapun informasi yang menjadi viral.

“Pengguna emosional dan buzzer akan mendukung pasangan calonnya, apapun situasinya. Mereka ini yang mendominasi media sosial,” ujarnya.

Lalu, apakah menjadi populer di media sosial akan menolong Ahok dari status terdakwa dalam kasus dugaan penistaan agama? Biarlah masyarakat di dunia nyata yang menentukan.

To Top