Nasional

OTT KPK Makin Gencar di Tengah Pro Kontra Hak Angket

Komisi Pemberantasan Korupsi kembali beraksi di tengah pro kontra kontroversi panitia Khusus Hak Angket KPK. Seakan tak tergoyahkan dengan kencangnya isu pelemahan dan evaluasi KPK melalui Pansus tersebut, komisi itu ‘rajin’ melakukan operasi tangkap tangan atau OTT kepada sejumlah pejabat.

Dalam sebulan terakhir saja, setidaknya ada dua kasus OTT yang melibatkan pejabat daerah. Pada 5 Juni, KPK menangkap tangan pimpinan Komisi B DPRD Jatim dan 11 SKPD di Provinsi Jawa Timur. Mereka berhasil diamankan bersama sejumlah uang sekitar Rp150 juta. Uang tersebut terkait dengan komitmen suap pengawasan penggunaan anggaran di tiap-tiap SKPD DPRD Jatim yang mencapai Rp600 juta per tahun.

Tak lama, dua pekan kemudian. KPK menggelar OTT kepada sejumlah anggota DPRD Kota Mojokerto, Jawa Timur dan mengamankan uang sekitar Rp470 juta pada Jumat 16 Juni 2017. KPK menetapkan tiga pimpinan DPRD Kota Mojokerto dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Mojokerto serta dua orang lainnya sebagai tersangka.

Keenam orang yang diciduk KPK diduga terlibat dalam suap terkait pengalihan anggaran Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Mojokerto tahun 2017.

Pengalihan tersebut dari program penataan lingkungan sebesar Rp13 miliar yang dibatalkan. Dan dialihkan ke pembangunan Politeknik elektronik Negeri Surabaya. Petugas KPK menyita uang sebesar Rp470 juta dari total komitmen fee Rp500 juta yang disepakati.

Operasi KPK itu mendapat beberapa sambutan positif di satu sisi, di apresiasi. Tapi di sisi lain, OTT KPK di daerah mendapat sorotan, kenapa sampai komisi tersebut ‘turun gunung’ ke daerah menciduk sejumlah pejabat dengan nilai uang sitaan yang tidak sangat signifikan, ratusan juga.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, Zainal Arifin Mochtar menuturkan, soal besar kecil yang disita KPK bukan lah menjadi soal, sebab berapapun nilainya, itu adalah hasil korupsi atau penyuapan.

Menurutnya, dalam OTT dua kasus pejabat daerah di Jatim itu, langkah KPK legal dan bisa dipertanggungjawabkan.

“KPK bekerja sesuai standar UU yakni mengusut yang nilai Rp1 juta ke atas, yang dilakukan pejabat publik atau menjadi perhatian publik. Kualifikasi perhatian publik itu masuk kan. Pada titik itu tak ada masalah secara aturan, legal,” jelas dia kepada VIVA.co.id, Minggu malam 18 Juni 2017.

Zainal menuturkan, jangan melihat dari sisi nilai kecil dalam OTT KPK, tapi bagaimana dampak dari aksi korupsi atau penyuapan yang dilakukan pejabat negara di daerah. Zainal merujuk pada kasus OTT KPK atas Ketua DPD Irman Gusman soal kebutuhan pokok, menurutnya akan berdampak besar pada publik. Untuk itu, tegasnya, ukuran besar atau kecil nilai uang yang disita bukan menjadi sebuah ukuran.

“Besar atau kecil itu kan korupsi,” kata dia.

Zainal juga membela aksi KPK turun gunung ke daerah menjalankan OTT. Menurutnya KPK turun ke daerah karena memang penegak hukum yang lain seperti kejaksaan dan kepolisian tak bisa melakukannya. Namun dia menyadari, memang OTT KPK di daerah menunjukkan pola koordinasi, supervisi antarpenegak hukum yang masih belum kuat. Jika koordinasi padu dan kokoh, maka OTT di daerah bisa dikoordinasikan dengan penegak hukum di daerah.

“Koordinasi dan supervisinya harus jalan, misalnya yang begini (OTT KPK di daerah) enggak perlu turun, cukup polisi dan jaksa,” kata dia.

Senada dengan Zainal, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Hendri melihat KPK ‘turun gunung’ karena memang kepolisian dan kejaksaan kurang optimal menjalankan operasi tersebut. Dari datanya, OTT dua penegak hukum tersebut terbilang minim, sangat sedikit, bahkan nyaris tak terdengar.

Dalam kacamatanya, Febri memandang, penegak hukum di daerah cenderung takut untuk menjalankan OTT pejabat setempat, buktinya sedikit OTT dijalankan penegak hukum daerah. Febri menuturkan, penegak hukum daerah lebih aktif membongkar korupsi dugaan mark up dan lainnya. Kalau pun melakukan OTT, sepanjang yang ia tahu, kejaksaan tidak sebagus KPK.

“Kalau KPK kan lumayan banyak lakukan OTT, jaksa dan polisi sedikit,” tuturnya.

Febri menduga, problem minimnya kejaksaan dan kepolisian dalam menggelar OTT di KPK karena banyak hal. Mulai dari komitmen sumber daya kurang, fasilitas penyadapan kurang dan lainnya. Penegak hukum daerah takut bisa diintervensi kekuatan politik atau level di atasnya jika melakukan OTT di daerah.

Namun dia mengakui di sisi lain, OTT KPK di daerah ini juga berarti fungsi trigger mechanism KPK tidak berjalan. Fungsi tersebut merupakan dorongan agar aparat penegak hukum, khususnya di daerah, untuk berani menindak penyelenggara negara yang terlibat korupsi, baik gubernur, bupati, wali kota, maupun anggota DPRD.

Sebagai solusi problem tersebut, Febri mengatakan, kemampuan OTT kejaksaan dan kepolisian perlu diperkuat. Untuk alat penyadapan, menurutnya, polisi punya teknologi yang tak kalah dengan KPK. Untuk kasus terorisme, penyadapan kepolisian terbukti efektif membongkar jaringan peneror tersebut. Tapi kenapa untuk kasus korupsi tak sebagus penanganan kasus terorisme.

“Tinggal diperkuat saja. Kejaksaan kan punya Jamintel, polisi juga punya intel. Penyadapan mereka diperkuat,” tutur Febri.

Pola dan modus lama

Petinggi daerah yang tertangkap tangan dalam operasi KPK, menurut Febri, bukan fenomena baru. Pola dan modus yang dijalankan dalam dua kasus pejabat negara di Jawa Timur merupakan pola lama. ICW mencatat umumnya pola korupsi atau penyuapan di daerah nilai komitmennya mencapai 7 sampai 20 persen dari nilai proyek yang disetorkan ke kepala daerah atau pejabat daerah.

Kasus OTT di Mojokerto dan DPRD Jatim, menurutnya, modelnya sama. Dinas memberikan semacam upeti atau THR untuk pejabat negara di daerah.

“Itu bisanya supaya mereka mengamankan, atau bisa saja karena sudah diamankan, pimpinan DPRD sudah membantu pengelolaan anggaran,” jelasnya.

Fenomena itu tergolong biasa saja dan sudah sering terjadi. Hal yang membuat kasus ini menarik perhatian, karena tertangkap tangan KPK.

Febri mengungkapkan, kasus korupsi di daerah biasanya bakal mudah terbongkar jika ada lawan politik, orang yang disakiti tapi menguasai penegak hukum di daerah.

“Setidaknya ada syarat persaingan politik di daerah, korupsi bisa (mudah) terungkap. Secara teori begitu, fenomena ini sudah lama, tergantung persaingan politiknya seperti apa,” ujarnya.

Bila tak ada kompetisi politik seperti di atas, biasanya kasus korupsi di daerah cenderung aman lantaran di daerah tersebut mengakar dinasti politiknya. Daerah dengan dinasti politik, kata Febri, hanya bisa dibongkar oleh KPK melalui OTT atau langkah lainnya.

Febri mengatakan, memang ada peluang orang yang disakiti atau lawan di daerah mengadu dan melaporkan kasus KPK dan kemudian ditindaklanjuti dengan OTT. Tapi, menurutnya, KPK bergerak OTT bukan berdasarkan pertimbangan politik.

“OTT KPK bukan karena faktor politik, itu sangat kecil. KPK lebih murni lah, ibarat pemburu berburu di kebun binatang, (KPK) tinggal bidik saja,” jelasnya.

Zainal mengatakan memang OTT KPK atas pejabat daerah tak ada masalah. Tapi dia mengingatkan KPK, jangan hilang fokus untuk mengusut kasus-kasus besar. Publik tentunya akan terus menagih kemampaun KPK untuk membongkar kasus mega korupsi.

“Kasus lain harus jalan. Kalau KPK kerja menegasikan kerja yang lain ya (jangan). Saya berharap tidak, dan memang tidak demikian,” ujarnya.

To Top