Nasional

Ini Nama-Nama Pejabat yang Membantah Terima Uang Korupsi E-KTP

Hingga sidang ketiga kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik, jaksa telah menghadirkan 12 saksi. Dari jumlah tersebut, tujuh di antaranya disebut dalam dakwaan menerima uang dari proyek e-KTP. Namun, sebagian besar dari mereka membantah terima uang saat diperiksa dalam persidangan. Berikut daftarnya:

1. Gamawan Fauzi

Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi disebut menerima 4,5 juta dollar AS dan Rp 50 juta dalam beberapa kali penerimaan. Namun, Fauzi membantahnya. Bahkan dia berani bersumpah bahwa dirinya tak pernah menerima sejumlah uang tersebut.

“Satu rupiah pun saya tidak terima, demi Allah. Kalau ada satu rupiahpun, saya minta didoakan saya dikutuk Allah,” ujar Gamawan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (16/3/2017).

Meski begitu, ia mengakui beberapa kali menerima uang di kurun waktu yang disebutkan di dakwaan. Namun, menurut Gamawan, pemberian uang itu terkait keperluannya berobat dan honor kerja.

Gamawan mengaku pernah meminjam uang kepada pedagang bernama Afdal Noverman. Ia membutuhkan uang dalam jumlah besar untuk membeli tanah dan keperluan berobat. Saat itu ia menderita kanker usus dan harus dioperasi di rumah sakit di Singapura.

Menurut Gamawan, uang yang dia pinjam sebesar Rp 1,5 miliar secara tunai. Selain itu, Gamawan juga mengaku menerima uang Rp 50 juta dari honor sebagai pembicara saat melakukan kunjungan kerja di lima provinsi.

“Honor saya bicara di satu provinsi itu Rp 10 juta. Jadi lima provinsi Rp 50 juta,” kata Gamawan.

Berdasarkan surat dakwaan, Gamawan menerima uang dari Andi Agustinus alias Narogong, pengusaha pelaksana proyek e-KTP pada Maret 2011.

Andi memberi uang itu melalui Afdal Noverman sejumlah 2 juta dollar AS. Tujuannya, agar pelelangan pekerjaan proyek e-KTP tidak dibatalkan oleh Gamawan Fauzi.

Pada Juni 2011, Andi kembali memberikan uang pada Gamawan melalui adiknya, Azmin Aulia, sejumlah 2,5 juta dollar AS. Pemberian uang bertujuan untuk memperlancar proses penetapan pemenang lelang.

Selain itu, sebagian uang yang diperoleh Dirjen Dukcapil juga diberikan kepada Gamawan, yakni sebesar Rp 50 juta. Pemberian dilakukan saat kunjungan kerja di Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Papua.

2. Chairuman Harahap

Mantan Ketua Komisi II Chairuman Harahap juga membantah menerima uang dari proyek e-KTP. Dalam dakwaan, ia disebut mendapat bagian sebesar 584.000 dollar AS dan Rp 26 miliar.

“Di dakwaan disebutkan jelas, tapi saya tidak menerima itu,” kata Chairuman saat bersaksi di Pengadilan Tipikor.

Chairuman disebut menerima uang dari Mantan anggota Komisi II DPR RI Miryam S Haryani yang berasal dari Mantan Direktur Jenderal Dukcapil, Irman, pada Agustus 2012. Menurut Chairuman, saat itu dia tak lagi menjabat sebagai pimpinan Komisi II.

“Agustus 2012 Saya tidak lagi jadi Ketua Komisi II. Saya di Komisi XI,” kata dia.

Ia juga mengaku tak pernah mendengar adanya bagi-bagi uang untuk anggota Komisi II maupun Badan Anggaran DPR RI.

Dalam sidang dipaparkan temuan catatan uang miliaran rupiah di kediaman Chairuman. Dalam surat dengan tulisan tangan itu disebut ada pemberian uang Rp 1,25 miliar kepada Rida Harahap. Namun, ia membantah catatan itu terkait kasus e-KTP. Ia menyebut uang itu untuk berinvestasi Ada juga catatan penitipan uang Rp 3.180 miliar. Chairuman kembali membantah uang itu ada kaitannya dengan proyek e-KTP.

3. Teguh Juwarno

Mantan Wakil Ketua Komisi II DPR RI Teguh Juwarno menambah daftar pihak-pihak yang membantah menerima uang terkait proyek e-KTP. Teguh menampik penerimaan uang sebesar 167.000 dollar AS sebagaimana tertera dalam dakwaan.

Salah satu pemberian uang dilakukan di ruang kerja anggota Komisi II DPR RI Mustokoweni pada September atau Oktober 2010. Uang itu berasal dari Andi Narogong.

Pemberian uang dilakukan setelah adanya kesepakatan pembagian anggaran e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun yang diperuntukan belanja modal atau belanja riil pembiayaan proyek e-KTP sebesar 51 persen atau Rp 2,662 triliun, sementara sisanya dibagi-bagi ke sejumlah pihak, termasuk anggota Komisi II DPR RI dan Badan Anggaran DPR RI.

Pemberian uang itu dimaksudkan agar Komisi II DPR RI dan Banggar menyetujui anggaran untuk proyek pengadaan dan penerapan e-KTP. Namun, ternyata dalam kurun waktu tersebut, Mustokoweni telah meninggal dunia.

“Faktanya, Mustokoweni meninggal 18 Juni 2010. Jadi tidak masuk akal ada pembagian uang di ruangan beliau,” ujar Teguh.

“Kami tidak pernah menerimanya yang mulia,” tambah dia.

4.Taufiq Effendi

Senada dengan rekannya, Teguh, mantan Wakil Ketua Komisi II DPR RI Taufiq Effendi membantah isi dakwaan soal penerima uang. Di sana disebutkan bahwa Taufiq menerima uang sebesar 103.000 dollar AS.

Hakim membacakan berita acara pemeriksaan yang menyebutkan adanya hadiah atau janji yang akan diterima Komisi II terkait pembahasan e-KTP. Uang tersebut akan diberikan sebelum reses. Namun, Taufiq mengaku tak pernah dengar ada kesrpakatan soal itu.

“Saya tidak pernah yang mulia. Tidak ada janji-janji semacam itu, tidak ada,” kata Taufiq.

“Yakin?” tanya hakim lagi.

“Yakin, saya disumpah,” tegas Taufiq.

Dalam dakwaan, pemberian uang salah satunya dilakukan setelah adanya kesepakatan penambahan anggaran pengadaan e-KTP. Saat itu, Miryam meminta uang kepada Irman sebesar Rp 5 miliar untuk kepentingan operasional Komisi II DPR

RI. Uang tersebut kemudian dibagikan secara bertahap kepada empat pimpinan Komisi II, sembilan Ketua Kelompok Fraksi Komisi II, dan 50 anggota Komisi II, termasuk pimpinan komisi dan Kapoksi.

5. Miryam S Haryani

Bantahan paling keras muncul dari Mantan anggota Komisi II Miryam S Haryani. Ia enggan membenarkan seluruh isi berita acara pemeriksaan dirinya saat diperiksa penyidik KPK. Padahal, dalam berita acara, Miryam membeberkan detil kronologi pemberian uang meliputi waktu kejadian, siapa saja yang menerima, dan berapa yang diterima masing-masing orang.

Miryam mengaku terpaksa mengarang cerita dihadapan penyidik karena merasa tertekan. “Saya diancam, saya mau dibidik,” kata Miryam sambil menangis.

Miryam merasa tertekan dengan cara penyidik menginterogasinya. Penyidik itu, kata dia, sempat menyatakan bahwa mestinya tahun 2010 dirinya sudah ditangkap KPK. Jawaban yang dia beberkan dan tertuang di berita acara hanya untuk menyenangkan penyidik.

“Biar cepat saya keluar ruangan, terpaksa saya ngomong asal saja,” kata Miryam.

Akhirnya, Miryam mencabut isi BAP yang berkaitan dengan pembagian uang.

Berdasarkan dakwaan, sekitar Mei 2011, setelah Rapat Dengar Pendapat antara Komisi II DPR RI dengan Kementerian Dalam Negeri, Irman dimintai sejumlah uang oleh melalui Miryam sebesar 100.000 dollar AS untuk membiayai kunjungan kerja Komisi II DPR RI ke beberapa daerah.

Kemudian, pada 21 Juni 2011 konsorsium PNRI sebagai pemenang lelang dengan harga penawaran Rp 5.841.896.144.993.

Setelah penandatanganan kontrak, pada Agustus-September 2011, Irman memerintahkan bawahannya, Sugiharto menyediakan uang Rp 1 miliar untum diberikan kepada Miryam.

Di waktu berikutnya, sekitar Agustus 2012, Miryam meminta uang ke Irman sejumlah Rp 5 miliar untuk kepentingan operasional Komisi II DPR RI. Setelah uang sudah di tangan, Miryam membagikannya kepada pimpinan dan anggota Komisi II DPR RI secara bertahap. Miryam sendiri mendapatkan 23.000 dollar AS dari beberapa penerimaan uang itu.

Saksi diminta tak berbohong

KPK mengingatkan para saksi yang dihadirkan dalam persidangan kasus dugaan korupsi e-KTP menyampaikan kesaksiannya dengan jujur. Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengimbau agar mereka dapat bersikap kooperatif.

“Saksi punya kewajiban untuk bicara dengan benar dan ada risiko bagi saksi yang tidak bicara benar,” kata Febri.

Febri memberi contoh salah satu saksi suap Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, Muchtar Effendi, yang dijerat KPK. Muchtar memberikan keterangan palsu saat persidangan Akil terkait suap pengurusan sengketa Pilkada.

Akibat kesaksian palsunya, Muchtar divonis penjara lima tahun dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan penjara.

Febri mengatakan, dalam menghadapi proses hukum, sikap kooperatif lebih bermanfaat ketimbang menyampaikan bantahan. Salah satunya dengan menyerahkan uang dugaan korupsi dan memberikan keterangan yang relevan kepada KPK.

“Tidak ada gunanya melakukan bantahan-bantahan karena akan lebih baik untuk proses hukum kalau itu (uang dugaan korupsi) dikembalikan dan disampaikan langsung kepada KPK,” kata Febri.

Sejauh ini ada 14 orang yang menyerahkan sejumlah uang terkait kasus e-KTP ke KPK. Total uang yang sudah dikembalikan sebesar Rp 30 miliar.

Mereka terdiri dari anggota legislatif dan pihak eksekutif. Selain itu, KPK juga telah menyita Rp 220 miliar dari pihak korporasi, yakni lima perusahaan dan satu konsorsium.

Meski begitu, Febri menegaskan bahwa pengembalian uang tidak akan menghapus tidak pidana yang dilakukan.

To Top